Rabu, 04 April 2012

Surat cinta untukmu dan untukku

Surat cinta untukmu dan untukku

“Ngelamun mulu lu! Kapan mau dapet pacar kalo gini terus”. Aku terhenyak, tersadar seketika. Seperti baru terbangun dari mimpi buruk di tengah malam. Darcha, lagi-lagi dia mengacaukan diamku. Akhir-akhir ini aku memang suka diam dengan pikiran kosong. Jadi, aku agak kurang sepakat kalau dibilang sedang melamun, toh, aku tidak membayangkan apa-apa. Aku hanya sedang ingin keluar dari keramaian yang aku jalani beberapa bulan terakhir ini. Dan untuk mengekspresikan keinginanku itu, diam adalah aktivitas yang aku pikir paling representatif, selain membaca dan mendengarkan musik tentunya.
Kebiasaan diam memang identik dengan kesendirian, dan itu juga yang aku alami. Akhir-akhir ini aku suka menyendiri. Menghindari keramaian kalau tidak penting-penting amat. Keramaian yang penting yang aku maksud di sini adalah kuliah, kerja kelompok, atau kelompok pengajian. Ya, kesendirian tiba-tiba menjadi begitu indah, seperti mutiara. Kesendirian tiba-tiba menjadi sangat membuatku berenergi, seperti matahari. Dan aku dengan kesendirian selalu punya cerita, dan tidak perlu ada yang tersakiti dengan cerita kami, karena kami hanyalah aku dan kesendirian.
Cukup sudah cerita aku dengan kesendirian. Kini mari kita bicara tentang aku. Aku adalah mahasiswa di sebuah Perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Barangkali perguruan tinggi ini juga merupakan perguruan tinggi paling adil di dunia, karena menerapkan sistem pembayaran berjenjang bagi mahasiswa reguler, dari seratus ribu sampai tujuh setengah juta. Mereka yang tidak mampu dengan semua bukti rumit yang menunjukkan ketidakmampuan itu akan membayar sedikit. Mereka yang berduit atau malas mengurus berkas yang rumit tadi akan membayar banyak. Banyak keluhan yang dilontarkan terhadap sistem ini. Dan memang di dunia ini selalu seperti itu. Semua serba relatif. Selalu ada sudut pandang yang berbeda. Kembali lagi ke aku, usiaku 18 tahun, cukup muda untuk mahasiswa yang sedang melukiskan hidupnya di semester 5. Lahir di keluarga ekonomi menengah dengan prestasi akademik yang cukup baik sewaktu SMA mengantarkan aku ke kampus ini. Belajar ilmu gizi, pelajaran yang aku tahu tidak begitu menyenangkan setelah menjalaninya beberapa semester. Tapi kupikir, kuliah dengan jurusan gizi tidak mengharuskan kita menjadi Ahli gizi dan berkutat di dunia pergizian yang menjemukan itu bukan?
Di kampus ini, aku berkenalan dengan sesuatu yang membuatku lupa bahwa aku sedang belajar ilmu gizi yang menjemukan: organisasi. Badan Eksekutif Mahasiswa, itu terlihat keren. Dan mana pernah kubayangkan, sekarang, di semester 5 ini aku menjadi wakil ketua umumnya. Dan hey, lihat! Fotoku sedang tersenyum terpampang di spanduk struktur organisasi di depan Balai Kegiatan Mahasiswa, sebuah tempat mahasiswa melakukan aktivitas organisasi, yang lebih tepat disebut gudang. Karena begitu berantakan, sumpek dan padat.
Well, amanah ini sukses membuatku menjadi super sibuk. Sambutan di sana-sini, kunjungan ke sana-sini, atau sekedar menonton acara, yang bahkan aku tidak tahu itu acara apa. Keramaian menjadi teman setiaku, itu konsekuensi logis yang harus aku terima ketika aku bersedia diminta menjadi wakil. Aku sudah besar, sudah bisa menilai mana yang baik dan yang buruk. Mana yang harus dilakukan mana yang tidak. Mana yang menyenangkan mana yang membosankan. Mana yang cantik dan yang tidak begitu cantik.
Aku, wajahku cukup. Dan aku, Jatuh cinta. Ya, aku jatuh cinta. Aku tidak pernah tahu apa itu jatuh cinta, tapi kali ini aku berani bilang aku jatuh cinta. Kalau bukan cinta, harus disebut apa rasa yang membuatku tiba-tiba menjadi sangat puitis, suka lagu romantis, dan membaca novel-novel roman. Kalau bukan cinta, rasa apa yang membuatku tiba-tiba melampiaskan emosi yang menderu-deru dalam jiwa ke dalam tulisan. 2 buah tulisan yang kubuat pada zaman yang berbeda . Yang pertama, saat aku jatuh cinta. Yang kedua, saat aku sadar bahwa cinta ini harus dilupakan.
Ini yang pertama…
Raut itu… Senyum itu… Tatapan itu…
Rasa ini terlalu sulit didefinisikan. Atau mungkin rasa ini memang dicipta tanpa definisi. Hanya bisa dirasa. Penaka embun yang menetes di tengah gurun, entah mengapa tawa itu begitu menyegarkan. Membangkitkan gelora jiwa untuk terus menjalani hidup dengan gairah.
Sesosok wanita innosence yang penuh tanda tanya. Penuh misteri keluguan. Dia hidup dengan caranya, dia mencintai dengan caranya, seperti wanita-wanita lainnya. Tidak begitu pintar, tidak juga begitu jelita. Biasa saja. Tidak banyak bicara, tidak banyak tingkahnya, lagi-lagi biasa saja. Tapi entah mengapa ia begitu mempesona, membuat relung hati terus bergetar. Aura ketulusannya memancar menembus serat-serat jiwa.
Dialah wanita yang telah melipatgandakan energiku. Dialah wanita yang dengan tingkah lugunya selalu menghiburku. Menjauhkanku dari rasa jenuh. Menghindarkanku dari rasa bosan. Selalu ada semangat yang terbentuk dalam lingkaran aku dan dia. Cinta ini konstruktif. Tidak ada pujian-pujian, hanya cerita yang kadang beriring canda. Tidak ada janji-janji, hanya pancaran semangat. Ya, dengan segala subjektifitas diri ini aku merasakan: Cinta ini konstruktif.
Dia kuncup bunga, dan aku ingin menjadi sinar matahari yang membuatnya mekar. Dia taman gersang, dan aku ingin menjadi hujan yang menghijaukannya. Terlalu melankolis untuk diibaratkan sebagai laut dengan pantai. Api dengan panas. Atau salju dengan dingin. Terlalu khayal untuk diibaratkan seperti raja dan ratu. Pangeran dan Tuan Putri. Atau Romeo dan Juliet. Cinta ini tidak serumit itu. Sederhana saja.
Allah telah menciptakan cinta jiwa. Aku ingin merawat ciptaan Allah ini, dalam setiap do’a-do’aku.  Yang aku rasakan sederhana. Aku bahagia saat dia tersenyum. Aku merasa dewasa saat berada di dekatnya. Aku merasa bisa membuatnya bahagia. Kalaulah memang cinta ini tidak berujung di pelaminan, bantu aku melupakan cinta ini. Tapi kalaulah Engkau telah menakdirkan cinta ini berujud dalam ikatan yang Engkau ridho’i, tenggelamkan dia dalam lautan cintaku.
Lihatlah, itu surat cintaku yang pertama. Surat cinta yang tak tersampaikan. Dan memang dibuat bukan untuk disampaikan, hanya untuk mengenang.
Aku selalu menatapnya dari sudut sini, sudut di mana dia tahu aku sedang memerhatikannya, tapi pura-pura tidak tahu. Dan selalu menyuguhkan senyum yang ringan saat bertemu, senyum yang memberikan isyarat: kamu sangat menarik, menyenangkan, maukah kamu selalu ada bersamaku. Aku yakin dia menangkap isyarat itu.
Berhari-hari rasa itu terus tumbuh dan bergejolak, dan menjadi biasa. Biasa bukan karena begitu saja, tapi karena aku membuatnya menjadi biasa. Karena memang ada satu proses legal sakral yang dilalui untuk mengekspresikan apa yang kusebut cinta itu. Proses legal yang untuk sekarang belum bisa aku jalani. Proses legal yang tidak terlalu rumit tapi memenuhi pikiran. Dari rahim ketidakberdayaan itulah lahir tulisan cintaku yang kedua, dan ini, surat cinta untuk diriku sendiri.
Hati itu nampaknya terlalu dalam untuk diselami. Sepertinya segala daya dan upaya yang telah dipersiapkan untuk misi membongkar misteri keluguan itu harus dihentikan di sini. Terlalu ambisius mempertahankan cinta jiwa yang tak jelas muaranya. Yang ada sekarang hanya rasa ingin tahu yang harus dikubur oleh realitas ketidakpastian. Semua tiba-tiba sirna, atau kalaupun masih ada, anggap saja itu sudah sirna. Itu resiko, resiko cinta jiwa. Karena jiwa tak selalu bertemu dengan jiwa. Kadang ia harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang dalam subjektivitas pecinta itu begitu tidak adil dan menyakitkan. Kadang dia juga sengaja dipertemukan dengan bentuk lain, akhirnya cinta tidak dapat menyatu.
Cinta sudah membara, obsesi sudah menggelora, tapi takdir tidak mampir di sini. Ia terlalu sombong. Realitas ini begitu sadis, bahkan gairah kehidupan seperti dikungkung oleh kekejaman takdir. Tidak ada lagi senyum terlempar, kini diri ini seperti perahu tanpa layar. Termangu di tengah laut lepas. Tidak tahu arah, kalaupun tahu, tidak tahu bagaimana mengikuti arah itu. Serat-serat jiwa kembali mengerut, seluruh katup-katup hati tertutup. Cinta selalu berakhir dengan derita, kata Jenderal Tien Feng.
Itulah yang dirasa, kalau kita terlalu serius memaknai cinta jiwa. Karena cinta jiwa terlalu instan, tidak dibangun dengan fondasi yang kokoh. Karena kadang cinta jiwa hanya dibangun di atas obsesi kebanggaan, atau mungkin penetrasi kegelisahan. Sebab itu Anis Matta mengajak kita melupakan cinta jiwa yang tidak berujung di pelaminan. Itu terlalu menyakitkan. Karena hanya di pelaminan lah, cinta jiwa dan realitas kehidupan dengan mesra diparadekan. Pelaminan adalah panggung di mana gejolak bisa dilampiaskan ke dalam bentuk tindakan. Karena cinta jiwa harus diikuti oleh sentuhan fisik.
Kita harus jujur menilai keadaan. Cinta memang terlalu sulit didefinisikan, oleh karena itu ia kadang hanya berujung pada gerak bibir “aku mencintaimu”. Tapi cinta bukan soal kata, ini lebih kepada sebuah gelora. Cinta seharusnya bisa mengantarkan kita pada produktifitas, karena itu, kalau cinta justru membuat kita menjadi tidak produktif, lupakanlah. Cinta selayaknya mendekatkan kita dengan Sang Pencipta, karena itu, kalau cinta justru membuat kita lupa, lupakanlah. Dan cinta seharusnya berakhir pada eksekusi memberi, memberi apapun demi menjaga kesinambungan cinta. Karena cinta jiwa yang sesungguhnya harus terus kita jaga.
Cinta memang seharusnya konstruktif dan sederhana. Ia tidak butuh sentuhan majas hiperbola, apalagi personifikasi, seolah cinta begitu menghanyutkan. “Kalau jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat,” kata Efek Rumah Kaca dalam salah satu lirik lagunya.
Masa muda, masa penuh dengan gejolak produktivitas. Tapi cinta kadang membuat kita fokus pada syair-syair, pujian-pujian, gombalan-gombalan, yang membuat kita lupa bahwa kita punya tugas sejarah dan punya beban masa depan. Masa muda, masa pelejitan potensi. Tapi cinta kadang membuat kita terkungkung dalam dunia merah muda yang begitu kelam yang membuat potensi kejayaan makin terpendam.
Cinta Jiwa yang tidak konstruktif, musnahkanlah.
Cinta Jiwa yang tidak berujung di pelaminan, lupakanlah.
Aku sedang dalam proses, bukan proses legal yang sedari tadi aku bicarakan, tapi justru dalam proses melupakan. Aku berusaha cuek saat bertemunya. Pura-pura tidak lihat kalau berpapasan. Dan membalas smsnya sekedarnya. Aku ingin, ‘aku yang mencintainya’ dan ‘dia yang belum tentu mencintaiku’ tidak banyak berinteraksi, karena itu mengganggu “proses melupakan” yang sedang aku jalani. Proses yang menyakitkan. Seperti mengorek luka basah dengan kapas bergaram.
Proses itu sekarang yang membuatku menghindari keramaian. Karena aku takut dalam keramaian itu ada dirinya. Aku menjauh dari keramaian karena aku takut orang-orang di dalam keramaian sana ada yang menyebut namanya. Aku bahkan takut membuka facebook karena khawatir melihat lagi wajahnya. Wajah yang sedang aku coba lupakan.
Yah, sejak saat itu aku jadi suka diam. Suka kesendirian. Tenggelam dalam dunia novel. Berlayar dari cerita satu ke cerita berikutnya. Menjadi tokoh yang satu lalu berganti lagi jadi tokoh yang lainnya. Berkenalan dengan Dee, Andrea Hirata, Donny Dirgantoro, dan penulis-penulis novel lainnya. Aku, lebih memilih menjadi kutu buku dari pada kutu cinta. Dan lebih suka diam dari pada mencintai.
“Gua gak butuh pacar, pacaran itu cuma status yang membatasi lo, yang membuat lo makin kerdil dan gak produktif!” Aku menimpali. “Ok Ok.. Gw terima 2 argumen lu yang pertama. Terus, ngelamun itu menurut lo produktif? Kalau lo ngelamun dari ketek lo keluar duit? Atau kalau ngelamun tiba-tiba perut lo kenyang? Dapet apa lu dari ngelamun?”. Ucapan sahabat yang baru kukenal beberapa minggu belakangan ini benar juga. Tapi tetap saja, aku lebih suka diam dan bermain dengan kesendirian. Toh, aku tidak melamun seperti apa yang dia katakan. Aku hanya mencoba memaknai hidup dengan perspektif yang berbeda. Setidaknya untuk sekarang, dalam “proses melupakan” yang sedari tadi aku ceritakan.

0 komentar:

Posting Komentar