Aku, Buronan
“a, kapan libur?”
Sederhana. Pertanyaan itu sangat-sangat
sederhana. Hanya disampaikan melalui pesan singkat. Tanpa paksaan, tiada
pula permohonan. Sebuah pertanyaan wajar seorang ibu pada anaknya.
Ya, itu sekedar pertanyaan biasa. Tapi
pertanyaan ini disampaikan atas dasar kerinduan. Atas dasar tatapan yang
telah lama ‘tak saling menyapa. Atas dasar punggung tangan yang kering,
yang rindu kecupan. Dan kalau kerinduan ini dikategorikan sebagai
sebuah tragedi kriminalitas, akulah pelakunya.
Aku sekarang buronan.
29 Januari 2012, 08:55 am
“a, rambutan satu dua mulai kuning”
Beberapa hari kemudian sebuah pesan
singkat dengan nama kontak yang sama muncul lagi di layar ponsel. Sebuah
pernyataan yang disampaikan seolah tanpa pretensi. Tanpa persuasi
tersurat apapun. Apalagi ancaman.
Aku menangkap isyarat itu.
Ada harapan dibalik pesan tersebut.
Sederhana, tapi menjadi pelampiasan rasa atas rindu yang telah bertumpuk
sejak lama. Pelampiasan rasa atas jumpa yang ‘tak kunjung nyata. Pesan
itu mengendung siratan. Siratan yang sama dengan siratan dalam pesan
sebelumnya, hanya mungkin berbeda kadar.
Rambutan yang kaubilang sudah mulai
menguning itu hanya alibi. Kau tahu betul, di tempatku sekarang ini
banyak juga rambutan. Ia bukan barang asing di sini. Jadi tidaklah bijak
kalau rambutan yang sudah mulai menguning itu jadi alasan kepulanganku.
Kau sebenarnya tidak sedang bicara
tentang rambutan. Kau sedang bicara tentang kenangan. Tentang ‘dulu’,
tentang saat-saat yang bisa kita habiskan bersama. Dan rambutan,
hanyalah bagian kecil dari kebersamaan kita, ia hanya piguran.
Maafkan anakmu ini yang sampai hari ini
belum juga hadir. Meski kau ‘tak mungkin mengutukku jadi batu, aku tidak
mau jadi Malin Kundang. Aku akan pulang. Segera. Karena “mencintaimu”,
kata Sapardi Djoko Damono, “harus menjelma aku”.
0 komentar:
Posting Komentar