Rabu, 04 April 2012

Aku, Buronan

Aku, Buronan


a, kapan libur?”
Sederhana. Pertanyaan itu sangat-sangat sederhana. Hanya disampaikan melalui pesan singkat. Tanpa paksaan, tiada pula permohonan. Sebuah pertanyaan wajar seorang ibu pada anaknya.
Ya, itu sekedar pertanyaan biasa. Tapi pertanyaan ini disampaikan atas dasar kerinduan. Atas dasar tatapan yang telah lama ‘tak saling menyapa. Atas dasar punggung tangan yang kering, yang rindu kecupan. Dan kalau kerinduan ini dikategorikan sebagai sebuah tragedi kriminalitas, akulah pelakunya.
Aku sekarang buronan.
29 Januari 2012, 08:55 am
a, rambutan satu dua mulai kuning
Beberapa hari kemudian sebuah pesan singkat dengan nama kontak yang sama muncul lagi di layar ponsel. Sebuah pernyataan yang disampaikan seolah tanpa pretensi. Tanpa persuasi tersurat apapun. Apalagi ancaman.
Aku menangkap isyarat itu.
Ada harapan dibalik pesan tersebut. Sederhana, tapi menjadi pelampiasan rasa atas rindu yang telah bertumpuk sejak lama. Pelampiasan rasa atas jumpa yang ‘tak kunjung nyata. Pesan itu mengendung siratan. Siratan yang sama dengan siratan dalam pesan sebelumnya, hanya mungkin berbeda kadar.
Rambutan yang kaubilang sudah mulai menguning itu hanya alibi. Kau tahu betul, di tempatku sekarang ini banyak juga rambutan. Ia bukan barang asing di sini. Jadi tidaklah bijak kalau rambutan yang sudah mulai menguning itu jadi alasan kepulanganku.
Kau sebenarnya tidak sedang bicara tentang rambutan. Kau sedang bicara tentang kenangan. Tentang ‘dulu’, tentang saat-saat yang bisa kita habiskan bersama. Dan rambutan, hanyalah bagian kecil dari kebersamaan kita, ia hanya piguran.
Maafkan anakmu ini yang sampai hari ini belum juga hadir. Meski kau ‘tak mungkin mengutukku jadi batu, aku tidak mau jadi Malin Kundang. Aku akan pulang. Segera. Karena “mencintaimu”, kata Sapardi Djoko Damono, “harus menjelma aku”.

0 komentar:

Posting Komentar