Mereka yang Bahagia dalam Sembunyi
Ada sebuah kisah yang layak
dikasihani tentang matahari dan bulan. Kisah tentang pertemuan yang ‘tak
kunjung berujud. Tentang kerinduan yang harus dipendam. Dan dikekang
takdir.
Matahari adalah cerita tentang
keperkasaan. Maskulinitas yang tidak berbatas. Tentang semangat yang
menggelora. Matahari adalah cerita tentang dia yang populer. Yang
dipuja, dikultuskan. Tapi matahari juga adalah cerita tentang dia yang
kesepian. Dia yang butuh sentuhan lembut dan perhatian. Mungkin butuh
teman untuk bercerita. Atau sekedar bercermin muka.
Bulan adalah
cerita tentang kelembutan. Tentang ruh feminim yang berujud bulat, lugu,
lucu, dan manis. Tentang cahaya yang menenangkan. Bulan adalah cerita
tentang keindahan, tentang objek tatapan mahluk-mahluk malam, tentang
isi-isi puisi. Cerita tentang dia yang dirindukan oleh para pujangga.
Tapi bulan juga tidak sanggup sendiri. Ia ingin punya sahabat untuk
menemani, untuk melindungi, atau sekedar menyeimbangkan kelembutannya.
Sahabat untuk membuat janji bersama. Membuat cerita bersama.
“Mereka layak dikasihani”, begitu
mungkin kata mahluk-mahluk bumi. Karena mereka saling merindu, tapi
tidak dikehendaki takdir.Matahari tidak seharusnya kesepian, bulan juga
tak layak didera kerinduan. “Bulan hanya bagian kecil dari tata surya,
untuk apa kau menantikannya”. “Matahari terlalu hebat den besar untukmu,
sudahlah lupakan saja”. Itu kata mereka, mahluk bumi yang paling tahu.
Mahluk bumi yang selalu paling pintar.
Kasihanilah, karena mereka memang layak
dikasihani. Tapi percayalah, di sana matahari dan bulan dengan mesra
saling bertatapan. Saling mengisi. Saling memberi dan menerima. Saling
menguatkan. Mereka berkedip-kedipan. Saling menggoda. Saling beradu
canda. Saling membahagia. Dan tetap, saling merindu. Dan mungkin akan
selamanya seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar