Bab 6 – “Di Manakah Wanita-wanita Barakah Itu? Bahagian 3″
MENYUSAHKAN PROSES PERNIKAHAN
“Pernikahan itu sangat sensitif,” kata Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., “dan tergantung kepada diri masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.”
“Pernikahan itu sangat sensitif,” kata Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., “dan tergantung kepada diri masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.”
Pernikahan itu sangat sensitif. Pada
saat itu seseorang menjadi peka, lebih peka dari sebelumnya. Boleh jadi
ia menjadi lebih peka terhadap kebajikan-kebajikan dan akhlak mulia.
Boleh jadi ia justeru menjadi peka terhadap kekurangan-kekurangan orang
lain sekalipun sedikit, sedangkan kebaikannya yang banyak tidak nampak
di mata.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau
sebuah pernikahan mengalami keretakan dan kegersangan, yang merasakan
panas serta gerahnya tidak hanya suami dan isteri. Sanak-saudara pun
akan turut merasakan. Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau
masing-masing berusaha untuk saling menyelami dan menguatkan jalinan
perasaan (al-athifah) untuk kebaikan bersama,
goncangan-goncangan besar pun insyaAllah tidak menggoyahkan. Apalagi
goncangan kecil, baik dari tetangga mahupun keluarga.
Pernikahan itu sangat sensitif.
Kalau masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemuliaan –bukan
dimuliakan– insyaAllah mereka akan meraih rumahtangga yang barakah, sakinah (menenteramkan jiwa) mawaddah wa rahmah (diliputi oleh rasa cinta dan kasih-sayang).
Pernikahan itu sangat sensitif. Segala
jalan yang menyebabkan munculnya keraguan dan kebimbangan mengenai
akhlak maupun fizikalnya, perlu dijauhkan. Setiap pintu yang dapat
membuka penyesalan perlu ditutup, sedangkan pintu yang mendatangkan
kemantapan dan terhapusnya jalan penyesalan sebaiknya dibuka lebar.
Sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan merupakan jalan
besar menuju keluarga yang barakah, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Sementara itu, menyusahkan proses pernikahan dapat membuka pintu-pintu madharat. Menyusahkan proses pernikahan melapangkan jalan fitnah dan mafsadat (kerosakan) masyarakat. Tetapi yang ingin saya bahas di sini adalah madharat bagi suami isteri yang akan menikah.
Rasulullah s.a.w. bersabda,“Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah
Allah adalah yang murah maharnya, mudah menikahinya, dan baik
akhlaknya. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal
maharnya, sukar menikahinya, dan buruk akhlaknya.”
Ada beberapa madharat yang bisa muncul akibat proses pernikahan yang dipersukar:
Pertama,Menyebabkan Pembandingan
Sukarnya menempuh proses pernikahan,
dapat menyebabkan orang melakukan pembandingan. Ia membandingkan proses
yang ia jalani. Atau pun membandingkan orang yang dikehendaki.
Adakalanya, orang membandingkan dengan
proses yang ditempuh oleh orang lain. Pembandingan menyebabkan
munculnya penilaian. Sebahagian dari penilaian masih berada dalam
kebenaran, akan tetapi sebahagian lagi dapat menjatuhkan kepada
prasangka dan dosa. Ia menilai i’tikad calon teman hidupnya mahupun keluarganya.
Adakalanya, orang membandingkan calon
isterinya dengan orang lain. Pembandingnya boleh jadi memang benar-benar
ada, boleh jadi khayalan. Ia tidak membandingkan calon
isterinya dengan seseorang, tetapi membandingkan dengan apa yang
diangan-angankannya di waktu dulu. Sumber pembandingan boleh jadi cerita
orang, boleh juga buku-buku tentang nikah.
Mungkin ia membandingkan calonnya dalam
aspek psikologi. Misalnya, keramahan dan kelembutannya. Mungkin juga ia
membandingkan aspek fizikal si calon dengan orang lain, sehingga ia
menjadi kurang tenang dan yakin dibanding sebelumnya. Padahal, ketika
sudah menikah sahaja seorang isteri perlu menjauhkan suami dari
membanding-bandingkan kecantikan isteri dengan orang lain. Sebab
ini dapat membuka jalan ketidakpuasan dan penyimpangan.
Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,
Seorang wanita tidak
boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian ia ceritakan kepada suaminya
keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah melihat wanita
tersebut.” (HR Bukhari & Muslim).
Kedua,Menimbulkan Keraguan
Ketika Mughirah bin Syu’bah r.a. mahu
meminang seorang wanita, begitu An- Nasa’i menceritakan dalam hadisnya,
Rasulullah s.a.w. bertanya, “Sudahkah kamu melihat wanita itu?”
Kemudian Mughirah menjawab, “Belum.”
Rasulullah s.a.w. kemudian berkata, “Lihatlah
wanita itu, kerana akan mengurangi penyesalan antara kedua belah pihak.
Yakni memberi kemungkinan tumbuhnya keserasian, keselarasan, dan
kebersamaan antara keduanya.”
Al-Amasy berkata, “Setiap perkahwinan yang dilangsungkan tanpa saling melihat akan menyebabkan kesusahan dan kesedihan.”
Melihat wanita yang akan dinikahi dapat
menumbuhkan keyakinan. Ia lebih yakin kepada satu pilihan. Mudah-mudahan
mereka akan memperoleh keserasian dan keselarasan setelah menikah.
Ketika proses pernikahan dipersukar, orang akan membanding-bandingkan. Ini membuka jalan ketidakpuasan dan ketidakrelaan.
Proses pernikahan yang dipersukar juga
dapat mengakibatkan orang menjadi tidak yakin melangkah,
sekurang-kurangnya menjadi ragu. Padahal keyakinan terhadap pilihan
sangat diperlukan agar tercapai keselarasan, keserasian dan
kebersamaan antara keduanya. Demi mencapai keyakinan agar tidak
mengangankan yang lain, orang boleh melihat calonnya.
Mari kita lihat kembali kisah Mughirah bin Syu’bah r.a. melalui jalur lain:
Ketika Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang wanita, Nabi s.a.w. bersabda kepadanya,
“Pergilah untuk melihat wanita itu, karena dengan melihat itu
akan memberikan jaminan bagi kelangsungan hubunganmu berdua”. Dia
melaksanakannya, lalu menikahinya. Di kemudian hari ia menceritakan
tentang kerukunan dirinya dengan wanita tersebut. (HR Ibnu Majah, An-Nasa’i dan At- Tirmidzi).
Kalau orang merasakan keraguan, barakah pernikahan boleh berkurang.
Na’udzubillahi min dzalik.
Ketiga,
Melemahkan Kesediaan untuk Berjuang Bersama
Proses pernikahan yang dipersukar boleh
melemahkan kesediaan untuk berjuang bersama-sama. Kalau asalnya keluarga
dibayangkan sebagi perahu yang perlu dikayuh bersama-sama, sukarnya
proses pernikahan dapat menyebabkan fikiran berubah. Ia telah membayar
proses pernikahan dengan kesusahan. Setelah akad nikah tercapai, tibalah
saatnya untuk menjadi penumpang sahaja di perahu itu. Tidak mengayuhnya
bersama-sama.
Keluarga yang demikian ini akan tempang.
Apatah lagi kalau masing-masing merasa paling banyak berjuang dalam
mengibarkan layar pernikahan.
Keempat,
Mengeraskan Hati
Proses pernikahan yang sukar dapat mengeraskan hati dan meninggikan tuntutan psikologi terhadap isteri. Kerasnya hati menyebabkan komunikasi begitu kering. Tidak ada dialog dari hati ke hati, sehingga mata perlu menangis kerana ada yang mengikis perhatian orang yang tercinta. Jarang sekali ada silaturrahmi antara anggota keluarga yang tinggal serumah. Sehingga masing-masing berjalan sendirian. Kalau ada kebahagiaan, ia rasakan sendiri. Kalau ada keperihan, ia tangisi sendiri.
Tingginya tuntutan psikologi terhadap isteri, menyebabkan suami kurang merasakan kebaikan-kebaikan isteri walaupun sebenarnya sangat besar. Ia selalu merasa kecewa dan kesal terhadap isterinya. Padahal isteri sudah melakukan banyak hal. Ia mudah menyalahkan isterinya sebagai orang yang tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik. Meskipun ia tahu setiap orang mempunyai kekurangan (sama seperti dirinya).
Tuntutan psikologi yang tinggi menjadikan apa yang dipandang selalu kurang. Kalau Anda memakai cermin mata gelap, matahari yang terang pun kelihatan redup!
Antara Mempersukar dan Kesukaran
Adakalanya terhambatnya akad nikah kerana keluarga wanita mempersukar proses pernikahan. Adakalanya, kedua pihak tidak mempersukar proses, tetapi mereka menghadapi kesukaran-kesukaran. Yang pertama, membuat orang merasa terhalang dan dihambat. Yang kedua, insyaAllah dapat memperkukuh ikatan ketika keduanya merasa mendapat rintangan yang perlu dihadapi dengan baik, arif, bijaksana, dan tenang.
Adakalanya sebuah pernikahan perlu menghadapi kesukaran untuk menguji kesungguhan dan kejernihan niat. Ketika menghadapi masalah ini, sebahagian mungkin lari atau segera berhenti di tengah jalan. Sebahagian lagi tetap mencuba untuk tidak menyerah.
Kesukaran adalah perkara yang wajar, bahkan sangat wajar, dalam sebuah mujahadah (perjuangan). Mencapai pernikahan yang barakah adalah perjuangan untuk menjaga kesucian dan kehormatan. Kesukaran adalah kelayakan. Ia seperti hujan yang diikuti petir, sedangkan petir membawa muatan tenaga yang besar. Sebelum hujan turun, terlebih dulu ada awan. Mereka yang berada di bawahnya merasa kepanasan.
Meskipun demikian, kesukaran yang merupakan ujian kesungguhan niat agar mendapat kemuliaan dan barakah Allah, berbeza sekali dengan kesukaran karena mempersukar diri. Yang pertama adalah takdir Allah yang di dalamnya pasti ada kebaikan. Yang kedua, Allahu a’lam bishawab. Saya tidak bisa menjelaskan.
Bagaimana memahaminya? Anda boleh jadi tidak berpuasa ketika Ramadhan tiba. Pagi hari Anda makan sahur bersama keluarga. Sesudah itu meniatkan untuk melakukan puasa. Siang harinya Anda memasukkan batang pensil ke tenggorokan sehingga Anda muntah-muntah. Akibatnya, puasa Anda batal.
Mengeraskan Hati
Proses pernikahan yang sukar dapat mengeraskan hati dan meninggikan tuntutan psikologi terhadap isteri. Kerasnya hati menyebabkan komunikasi begitu kering. Tidak ada dialog dari hati ke hati, sehingga mata perlu menangis kerana ada yang mengikis perhatian orang yang tercinta. Jarang sekali ada silaturrahmi antara anggota keluarga yang tinggal serumah. Sehingga masing-masing berjalan sendirian. Kalau ada kebahagiaan, ia rasakan sendiri. Kalau ada keperihan, ia tangisi sendiri.
Tingginya tuntutan psikologi terhadap isteri, menyebabkan suami kurang merasakan kebaikan-kebaikan isteri walaupun sebenarnya sangat besar. Ia selalu merasa kecewa dan kesal terhadap isterinya. Padahal isteri sudah melakukan banyak hal. Ia mudah menyalahkan isterinya sebagai orang yang tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik. Meskipun ia tahu setiap orang mempunyai kekurangan (sama seperti dirinya).
Tuntutan psikologi yang tinggi menjadikan apa yang dipandang selalu kurang. Kalau Anda memakai cermin mata gelap, matahari yang terang pun kelihatan redup!
Antara Mempersukar dan Kesukaran
Adakalanya terhambatnya akad nikah kerana keluarga wanita mempersukar proses pernikahan. Adakalanya, kedua pihak tidak mempersukar proses, tetapi mereka menghadapi kesukaran-kesukaran. Yang pertama, membuat orang merasa terhalang dan dihambat. Yang kedua, insyaAllah dapat memperkukuh ikatan ketika keduanya merasa mendapat rintangan yang perlu dihadapi dengan baik, arif, bijaksana, dan tenang.
Adakalanya sebuah pernikahan perlu menghadapi kesukaran untuk menguji kesungguhan dan kejernihan niat. Ketika menghadapi masalah ini, sebahagian mungkin lari atau segera berhenti di tengah jalan. Sebahagian lagi tetap mencuba untuk tidak menyerah.
Kesukaran adalah perkara yang wajar, bahkan sangat wajar, dalam sebuah mujahadah (perjuangan). Mencapai pernikahan yang barakah adalah perjuangan untuk menjaga kesucian dan kehormatan. Kesukaran adalah kelayakan. Ia seperti hujan yang diikuti petir, sedangkan petir membawa muatan tenaga yang besar. Sebelum hujan turun, terlebih dulu ada awan. Mereka yang berada di bawahnya merasa kepanasan.
Meskipun demikian, kesukaran yang merupakan ujian kesungguhan niat agar mendapat kemuliaan dan barakah Allah, berbeza sekali dengan kesukaran karena mempersukar diri. Yang pertama adalah takdir Allah yang di dalamnya pasti ada kebaikan. Yang kedua, Allahu a’lam bishawab. Saya tidak bisa menjelaskan.
Bagaimana memahaminya? Anda boleh jadi tidak berpuasa ketika Ramadhan tiba. Pagi hari Anda makan sahur bersama keluarga. Sesudah itu meniatkan untuk melakukan puasa. Siang harinya Anda memasukkan batang pensil ke tenggorokan sehingga Anda muntah-muntah. Akibatnya, puasa Anda batal.
Boleh jadi sebaliknya. Anda sudah berniat puasa. Pukul tiga pagi
sudah masak dan makan sahur. Pagi sampai tengah hari menjaga diri dari
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Tetapi pukul lima petang
Anda datang bulan (menstruasi) sehingga Anda perlu berhenti dari berpuasa.
Yang pertama Anda batal puasa karena mempersukar diri. Yang kedua, Anda tidak jadi berpuasa karena mendapatkan kesukaran yang tidak bersumber dari diri Anda. Yang pertama adalah perbuatan dosa, karena Anda memiliki pilihan untuk taat atau tidak taat kepada perintah Allah. Yang kedua insyaAllah justeru memberi kemuliaan bagi Anda. Kedudukan Anda terangkat jika Anda redha. Anda tidak berdosa ketika membatalkan puasa, karena Anda menghadapi “paksaan takdir” (jabr) yang tidak dapat Anda tentukan.
Keduanya perlu diganti dengan puasa di lain hari. Tapi makna keduanya sangat berbeza.
Ada contoh lain. Ketika puasa, Anda sakit, sehingga Anda tidak berpuasa. Jika Anda redha, Allah akan membebaskan dosa-dosa Anda sesuai dengan sakit yang Anda alami dan keredhaan Anda menerima. Dalam hal ini, kesukaran meningkatkan kemuliaan dan kedudukan Anda.
Walaupun demikian, boleh jadi Anda sakit kerana Anda tidak mahu mengambil rukhshah (keringanan). Misalnya Anda melakukan perjalanan jauh yang meletihkan dan membahayakan tubuh jika tidak makan, akan tetapi Anda tidak mengambil hak Anda untuk tidak berpuasa. Akibatnya Anda sakit. Padahal Allah dan RasulNya telah memberi keringanan.
Dalam kes ini, Anda tidak mendapat kesukaran karena takdir memaksakan demikian. Anda sakit kerana Anda menzalimi diri sendiri. Anda mempersukar diri. Anda memberat-beratkan, sehingga Anda tewas.
Wallahu A’lam bishawab wallahul musta’an.
MENGAJUKAN SYARAT NIKAH
Sebahagian wanita mengajukan syarat-syarat ketika seorang lelaki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu muncul karena kehendaknya sendiri. Tetapi, adakalanya syarat itu merupakan kehendak orang tua atau keluarga yang dibebankan kepada anak gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Pokok persoalan berhubung dengan syarat-syarat nikah tidak terletak kepada siapa yang pertama mempersyaratkan, isteri sendiri atau keluarganya. Tetapi berkaitan dengan kedudukan syarat itu menurut syari’at.
Kita ikuti penjelasan Abu Bakr Jabir Al-Jazairi tentang masalah ini. Jika persyaratan yang ditetapkannya itu menegakkan dan memperkuat akad nikah, kata Al-Jazairi, seperti syarat nafkah, menggauli, atau pembahagian yang adil apabila peminangnya sudah beristeri, maka syarat-syarat tersebut berkaitan langsung dengan asal (pokok) akad, sehingga tidak perlu ditetapkan lagi.
Yang pertama Anda batal puasa karena mempersukar diri. Yang kedua, Anda tidak jadi berpuasa karena mendapatkan kesukaran yang tidak bersumber dari diri Anda. Yang pertama adalah perbuatan dosa, karena Anda memiliki pilihan untuk taat atau tidak taat kepada perintah Allah. Yang kedua insyaAllah justeru memberi kemuliaan bagi Anda. Kedudukan Anda terangkat jika Anda redha. Anda tidak berdosa ketika membatalkan puasa, karena Anda menghadapi “paksaan takdir” (jabr) yang tidak dapat Anda tentukan.
Keduanya perlu diganti dengan puasa di lain hari. Tapi makna keduanya sangat berbeza.
Ada contoh lain. Ketika puasa, Anda sakit, sehingga Anda tidak berpuasa. Jika Anda redha, Allah akan membebaskan dosa-dosa Anda sesuai dengan sakit yang Anda alami dan keredhaan Anda menerima. Dalam hal ini, kesukaran meningkatkan kemuliaan dan kedudukan Anda.
Walaupun demikian, boleh jadi Anda sakit kerana Anda tidak mahu mengambil rukhshah (keringanan). Misalnya Anda melakukan perjalanan jauh yang meletihkan dan membahayakan tubuh jika tidak makan, akan tetapi Anda tidak mengambil hak Anda untuk tidak berpuasa. Akibatnya Anda sakit. Padahal Allah dan RasulNya telah memberi keringanan.
Dalam kes ini, Anda tidak mendapat kesukaran karena takdir memaksakan demikian. Anda sakit kerana Anda menzalimi diri sendiri. Anda mempersukar diri. Anda memberat-beratkan, sehingga Anda tewas.
Wallahu A’lam bishawab wallahul musta’an.
MENGAJUKAN SYARAT NIKAH
Sebahagian wanita mengajukan syarat-syarat ketika seorang lelaki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu muncul karena kehendaknya sendiri. Tetapi, adakalanya syarat itu merupakan kehendak orang tua atau keluarga yang dibebankan kepada anak gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Pokok persoalan berhubung dengan syarat-syarat nikah tidak terletak kepada siapa yang pertama mempersyaratkan, isteri sendiri atau keluarganya. Tetapi berkaitan dengan kedudukan syarat itu menurut syari’at.
Kita ikuti penjelasan Abu Bakr Jabir Al-Jazairi tentang masalah ini. Jika persyaratan yang ditetapkannya itu menegakkan dan memperkuat akad nikah, kata Al-Jazairi, seperti syarat nafkah, menggauli, atau pembahagian yang adil apabila peminangnya sudah beristeri, maka syarat-syarat tersebut berkaitan langsung dengan asal (pokok) akad, sehingga tidak perlu ditetapkan lagi.
Jika syaratnya itu merosak akad nikah, seperti disyaratkan tidak
boleh bersenang-senang dengannya (termasuk bersetubuh, pent.), atau
tidak perlu menyediakan makanan dan minuman yang biasa disiapkan
oleh wanita, maka syarat tersebut tidak benar dan tidak wajib
memenuhinya. Hal ini disebabkan syarat-syarat tersebut bertentangan
dengan tujuan menikahinya, demikian kata Al-Jazairi dalam Pedoman Hidup Muslim (Litera AntarNusa, 1996).
Masih dalam buku yang sama, Al-Jazairi menjelaskan bahawa jika syarat-syarat tersebut keluar dari masalah tersebut seluruhnya, seperti si wanita mensyaratkan calon untuk mengunjungi keluarganya, atau jangan membawanya ke luar negeri misalnya, maka selama bukan syarat yang bersifat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi. Jika tidak, wanita boleh mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika mahu.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
Ada hadis yang dapat kita renungkan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hanya satu syarat saja yang tidak ada pada Al-Qur-’an adalah salah, apalagi jika ada 100 syarat.” (HR Bukhari).
Pembicaraan lebih lanjut tentang masalah ini boleh diperiksa di berbagai sumber. Anda juga boleh bertanya kepada pihak-pihak yang berhak, sehingga Anda mendapat kejelasan tentang berbagai pendapat yang berbeza-beza dalam perkara ini. Bukan bahagian saya untuk membahasnya di sini. Saya belum memiliki hak untuk itu.
Sekali lagi, jika Anda hendak mengajukan syarat-syarat nikah kepada calon suami Anda, periksa dulu berbagai sumber yang membahas masalah ini agar Anda mendapat kefahaman hukum yang matang. Bertanyalah kepada orang-orang yang faqih dan adil, agar Anda mendapatkan penjelasan yang mendalam dan terperinci, sehingga terang apa-apa yang kabur. Sehingga Anda mendapatkan keyakinan setelah Anda berada dalam keraguan. Dan itu, sekali lagi, bukan bahagian saya untuk membahas. Saya takut tergelincir dalam masalah ini memandangkan masih sangat sedikitnya ilmu saya.
Masih dalam buku yang sama, Al-Jazairi menjelaskan bahawa jika syarat-syarat tersebut keluar dari masalah tersebut seluruhnya, seperti si wanita mensyaratkan calon untuk mengunjungi keluarganya, atau jangan membawanya ke luar negeri misalnya, maka selama bukan syarat yang bersifat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi. Jika tidak, wanita boleh mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika mahu.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Syarat yang paling utama untuk dipenuhi, adalah persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersetubuh dengan isteri).” (HR Bukhari & Muslim).
Masalah lain berkenaan dengan syarat nikah adalah berkaitan sah atau
tidaknya akad nikah. Adakalanya nikah sah tetapi syaratnya batal,
misalnya mensyaratkan tidak perlu memberi mas kahwin atau nafkah.
Sekalipun nikahnya sah, tetapi kewajiban membayar mas kahwin dan memberi
nafkah tetap tidak terhapus.Ada hadis yang dapat kita renungkan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hanya satu syarat saja yang tidak ada pada Al-Qur-’an adalah salah, apalagi jika ada 100 syarat.” (HR Bukhari).
Pembicaraan lebih lanjut tentang masalah ini boleh diperiksa di berbagai sumber. Anda juga boleh bertanya kepada pihak-pihak yang berhak, sehingga Anda mendapat kejelasan tentang berbagai pendapat yang berbeza-beza dalam perkara ini. Bukan bahagian saya untuk membahasnya di sini. Saya belum memiliki hak untuk itu.
Sekali lagi, jika Anda hendak mengajukan syarat-syarat nikah kepada calon suami Anda, periksa dulu berbagai sumber yang membahas masalah ini agar Anda mendapat kefahaman hukum yang matang. Bertanyalah kepada orang-orang yang faqih dan adil, agar Anda mendapatkan penjelasan yang mendalam dan terperinci, sehingga terang apa-apa yang kabur. Sehingga Anda mendapatkan keyakinan setelah Anda berada dalam keraguan. Dan itu, sekali lagi, bukan bahagian saya untuk membahas. Saya takut tergelincir dalam masalah ini memandangkan masih sangat sedikitnya ilmu saya.
Bahagian saya sekarang insyaAllah membahas maslahat dan madharat di sebalik pengajuan syarat-syarat kepada calon suami yang akan menikahi.
Mempersyaratkan Tinggal Di Rumah Isteri
Atsram menceritakan, seorang lelaki menikahi seorang wanita dan ia mensyaratkan tetap tinggal di rumahnya. Kemudian lelaki itu berhajat untuk membawa isterinya pindah, sedangkan isterinya tidak mahu kemudian mengadukan masalahnya kepada Khalifah Umar.
Umar berkata bahwa wanita itu mempunyai hak mesti dipenuhi syaratnya. Maka lelaki itu berkata, “Kalau begitu engkau menceraikan kami.” Maka Umar berkata, “Putusnya hak tergantung pada syarat.”
Ada dua pendapat dalam masalah ini. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa syarat seperti ini hukumnya batal, tetapi akad nikahnya sah. Imam Ahmad, Auza’y dan Abu Ishaq memandang syarat ini sah dan wajib dipenuhi.
Jika kita mengikuti pendapat yang terakhir, maka ikatan pernikahan itu telah berakhir dengan perceraian ketika suami terpaksa berpindah tempat tinggal. Kata Umar bin Khaththab, “Putusnya hak tergantung pada syaratnya.”
Jika kita mengikuti pendapat pertama, masalahnya tidak selesai dengan mudah. Kalau suami mengabaikan persyaratan isteri atau keluarga isteri, akan muncul masalah-masalah psikologi yang boleh menjadi bibit madharat dan mafsadat (kerosakan). Misalnya, isteri merasa dilecehkan dan tidak diperhatikan haknya. Isteri boleh mengalami kekecewaan dan mengarahkan kepada perbuatan nusyuz (pembangkangan, mendurhakai suami).
Jadi, ada masalah yang tidak mudah di sini. Ketika seorang suami bermaksud melakukan kebaktian kepada orang tua, terutama ibu, selama beberapa minggu misalnya, masalah boleh timbul. Baik masalah pada suami, maupun pada isteri. Padahal, orang yang harus ditaati oleh seorang lelaki yang pertama adalah orang tua, terutama ibu. Sedang bagi wanita yang pertama kali harus ditaati sesudah menikah adalah suaminya, sejauh tidak bertentangan dengan hukum.
Ini baru satu contoh masalah. Sepanjang hidup, manusia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan. Kadang-kadang pilihan hidup menghadapkan orang kepada kemungkinan pindah dari tempat tinggalnya untuk mencapai kemaslahatan dan barakah. Demikian juga ketika ia telah menjalin ikatan pernikahan, keluarga itu boleh berhadapan dengan kemungkinan pindah kawasan penempatan karena ada sesuatu yang boleh mendatangkan kemaslahatan, sakinah dan barakah bagi keduanya. Atau, perpindahan itu mempunyai makna syi’ar, ketaatan, dan bahkan kecintaan terhadap agama.
Wallahu A’lam bishawab. Wallahul musta’an.
Mempersyaratkan Tinggal Di Rumah Isteri
Atsram menceritakan, seorang lelaki menikahi seorang wanita dan ia mensyaratkan tetap tinggal di rumahnya. Kemudian lelaki itu berhajat untuk membawa isterinya pindah, sedangkan isterinya tidak mahu kemudian mengadukan masalahnya kepada Khalifah Umar.
Umar berkata bahwa wanita itu mempunyai hak mesti dipenuhi syaratnya. Maka lelaki itu berkata, “Kalau begitu engkau menceraikan kami.” Maka Umar berkata, “Putusnya hak tergantung pada syarat.”
Ada dua pendapat dalam masalah ini. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa syarat seperti ini hukumnya batal, tetapi akad nikahnya sah. Imam Ahmad, Auza’y dan Abu Ishaq memandang syarat ini sah dan wajib dipenuhi.
Jika kita mengikuti pendapat yang terakhir, maka ikatan pernikahan itu telah berakhir dengan perceraian ketika suami terpaksa berpindah tempat tinggal. Kata Umar bin Khaththab, “Putusnya hak tergantung pada syaratnya.”
Jika kita mengikuti pendapat pertama, masalahnya tidak selesai dengan mudah. Kalau suami mengabaikan persyaratan isteri atau keluarga isteri, akan muncul masalah-masalah psikologi yang boleh menjadi bibit madharat dan mafsadat (kerosakan). Misalnya, isteri merasa dilecehkan dan tidak diperhatikan haknya. Isteri boleh mengalami kekecewaan dan mengarahkan kepada perbuatan nusyuz (pembangkangan, mendurhakai suami).
Jadi, ada masalah yang tidak mudah di sini. Ketika seorang suami bermaksud melakukan kebaktian kepada orang tua, terutama ibu, selama beberapa minggu misalnya, masalah boleh timbul. Baik masalah pada suami, maupun pada isteri. Padahal, orang yang harus ditaati oleh seorang lelaki yang pertama adalah orang tua, terutama ibu. Sedang bagi wanita yang pertama kali harus ditaati sesudah menikah adalah suaminya, sejauh tidak bertentangan dengan hukum.
Ini baru satu contoh masalah. Sepanjang hidup, manusia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan. Kadang-kadang pilihan hidup menghadapkan orang kepada kemungkinan pindah dari tempat tinggalnya untuk mencapai kemaslahatan dan barakah. Demikian juga ketika ia telah menjalin ikatan pernikahan, keluarga itu boleh berhadapan dengan kemungkinan pindah kawasan penempatan karena ada sesuatu yang boleh mendatangkan kemaslahatan, sakinah dan barakah bagi keduanya. Atau, perpindahan itu mempunyai makna syi’ar, ketaatan, dan bahkan kecintaan terhadap agama.
Wallahu A’lam bishawab. Wallahul musta’an.
Saya teringat nasihat Yahya Ibn Mu’adz
kepada saudaranya. Ketika saudaranya mengemukakan ingin tinggal di
tempat yang paling baik di muka bumi, Yahya menjawab, ”Berkenaan
perkataanmu tentang keinginanmu tinggal tinggal di tempat yang
paling baik di muka bumi ini, jadikanlah dirimu sebagai orang yang
terbaik di antara manusia, kemudian menetaplah di manapun engkau suka.
Sebuah tempat menjadi terhormat karena penduduknya, bukan karena yang
lain.”
Di balik apa-apa yang tidak kita sukai, kadang-kadang Allah
memberikan kebaikan yang sangat besar. Kadang-kadang kita mengharap
hujan, tetapi mengeluh ketika ada mendung yang tebal. Sementara di
sebalik apa-apa yang kita sukai, boleh jadi terdapat banyak kerugian
yang tidak kita lihat saat ini.
Mensyaratkan Tidak Berhubungan Intim
“Seutama-utama syarat yang harus dipenuhi,” kata Rasulullah Saw., “adalah persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersenggama dengan istri).” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam hadis ini istilah yang dipakai adalah mastahlaltum bihi furuj. Kata kunci dalam soal kita sekarang adalah furuj, farji (alat kemaluan). Bukan nikah atau zawaj (kahwin). Ini menunjukkan kepada kejelasan dan kekuatan kedudukan hubungan kelamin sebagai sesuatu yang menyebabkan munculnya persyaratan. Sementara, tidak mungkin melakukan hubungan kelamin secara halal tanpa melakukan akad pernikahan. Kerana itu, memang tidak salah jika diertikan persyaratan dalam rangka menikah, tetapi titik tolaknya ada pada masalah persyaratan untuk terjadinya hubungan kelamin. Begitu.
Dalam fiqh dikenal sebuah kaedah, perintah untuk melakukan sesuatu bererti perintah untuk melakukan perbuatan yang menjadi sebab terjadinya sesuatu. Kalau Anda diperintahkan solat, bererti Anda juga diperintahkan berwudhu. Sebab tidak sah solat Anda jika Anda tidak memiliki wudhu (jika Anda berhadas). Meskipun begitu, perintah berwudhu tidak menunjukkan perintah untuk shalat.
Nah, jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim kelak sesudah menikah sampai Anda lulus kuliah, apakah yang demikian ini tidak bertentangan dengan akad dan tujuan menikah? Padahal, salah satu tujuan menikah adalah untuk memelihara kehormatan kemaluan agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan karena menyalurkan pada yang tidak halal.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu untuk berkahwin, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.” (HR Bukhari & Muslim).
Syarat pernikahan yang seperti ini, sepanjang yang saya ketahui, tidak perlu ditaati. Tetapi persoalan yang ingin saya bahas di sini bukan boleh atau tidaknya melanggar persyaratan yang merosak makna dan tujuan akad nikah. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat pintu-pintu madharat dan mafsadat (kerosakan) yang boleh terjadi akibat adanya persyaratan semacam ini.
Mensyaratkan Tidak Berhubungan Intim
“Seutama-utama syarat yang harus dipenuhi,” kata Rasulullah Saw., “adalah persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersenggama dengan istri).” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam hadis ini istilah yang dipakai adalah mastahlaltum bihi furuj. Kata kunci dalam soal kita sekarang adalah furuj, farji (alat kemaluan). Bukan nikah atau zawaj (kahwin). Ini menunjukkan kepada kejelasan dan kekuatan kedudukan hubungan kelamin sebagai sesuatu yang menyebabkan munculnya persyaratan. Sementara, tidak mungkin melakukan hubungan kelamin secara halal tanpa melakukan akad pernikahan. Kerana itu, memang tidak salah jika diertikan persyaratan dalam rangka menikah, tetapi titik tolaknya ada pada masalah persyaratan untuk terjadinya hubungan kelamin. Begitu.
Dalam fiqh dikenal sebuah kaedah, perintah untuk melakukan sesuatu bererti perintah untuk melakukan perbuatan yang menjadi sebab terjadinya sesuatu. Kalau Anda diperintahkan solat, bererti Anda juga diperintahkan berwudhu. Sebab tidak sah solat Anda jika Anda tidak memiliki wudhu (jika Anda berhadas). Meskipun begitu, perintah berwudhu tidak menunjukkan perintah untuk shalat.
Nah, jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim kelak sesudah menikah sampai Anda lulus kuliah, apakah yang demikian ini tidak bertentangan dengan akad dan tujuan menikah? Padahal, salah satu tujuan menikah adalah untuk memelihara kehormatan kemaluan agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan karena menyalurkan pada yang tidak halal.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu untuk berkahwin, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.” (HR Bukhari & Muslim).
Syarat pernikahan yang seperti ini, sepanjang yang saya ketahui, tidak perlu ditaati. Tetapi persoalan yang ingin saya bahas di sini bukan boleh atau tidaknya melanggar persyaratan yang merosak makna dan tujuan akad nikah. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat pintu-pintu madharat dan mafsadat (kerosakan) yang boleh terjadi akibat adanya persyaratan semacam ini.
Jika Anda mempersyaratakan kepada
suami Anda kerana Anda tidak ingin mengandung selama Anda masih
kuliah atas berbagai pertimbangan, baik pertimbangan sendiri maupun
pertimbangan bersama dengan suami yang sama-sama masih kuliah, maka ada
yang perlu diperhatikan. Ketika Anda sudah terikat oleh pernikahan yang
sah, maka halallah apa-apa yang sebelumnya haram dan dosa besar. Anda
berhak mendapat kesenangan-kesenangan khusus bagi suami isteri. Pada
saat-saat tertentu, gejolak itu rendah. Tetapi pada saat-saat lain,
gejolak bisa meninggi bahkan tak terkendali.
Kalau waktu hari hujan, ais tidak menarik. Tapi kalau matahari sedang
terik seteriknya, keinginan yang mendesak untuk mereguk kenikmatan tak
mampu ditahan lagi. Nah, ibarat keperluan terhadap ais, segalanya boleh
terjadi saat Anda berdua saling memendam kerinduan.
Sebenarnya, Anda halal melakukan hubungan intim kerana Anda telah mengikat pernikahan yang sah. Masalahnya adalah, kalau sesudah “kecelakaan yang halal” itu terjadi ternyata Anda perlu mengandung dari benih suami Anda sendiri. Apatah lagi kalau sebelumnya Anda sempat memakai alat-alat kontrasepsi dan tidak terjadi apa-apa, maka kehamilan yang terjadi dapat mengakibatkan Anda melakukan penolakan terhadap anak yang Anda kandung. Padahal ia adalah anak Anda sendiri, anak yang sah dari suami yang sah melalui hubungan intim yang sah dan halal. Sepenuhnya sah.
Rentetan akibatnya akan sangat panjang. Akibatnya terhadap Anda mahupun akibat terhadap suami kerana sebelumnya tidak memiliki orientasi untuk memiliki anak semasa kuliah. Rentetan akibatnya juga merugikan anak secara langsung untuk masa yang sangat panjang, karena penolakan Anda menyebabkan ketidakmampuan Anda untuk menerima keberadaannya dan memberikan kasih sayang kepadanya. Padahal kasih-sayang dan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam mendidik anak. Selain itu, penolakan terhadap anak dapat melahirkan sejumlah konflik-konflik psikologi yang berat.
Kalau misalnya Anda tidak sampai mengalami kecelakaan kerana Anda berdua mematuhi persyaratan itu, masih ada yang harus Anda perhatikan. Bagaimana pengaruh masalah-masalah psikologi yang terbentuk selama menunggu perkuliahan selesai, padahal ia telah memiliki isteri yang sah? Bagaimana kesiapan kalian untuk menjadi suami isteri yang baik dan saling menerima, apabila sebelumnya Anda terhalang untuk menjalin kebersamaan? Apatah lagi kalau masing-masing masih tinggal di tempat yang berlainan.
Akhirnya juga berkait dengan kesiapan untuk menjadi orang tua. Kurangnya orientasi sejak awal dapat menyebabkan Anda mengalami kejutan mental (shock) setelah berkumpul bersama. Setelah kalian menjalin kebersamaan selama beberapa waktu sebagai suami isteri dengan menjauhkan jima’, sekarang tiba-tiba Anda menghadapi bahawa seorang anak sebentar lagi akan lahir setelah beberapa bulan sebelumnya Anda dikumpuli.
Jadi, soal orientasi dan kesiapan menjadi orang tua ini yang berpotensi menimbulkan madharat dan mafsadat jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim, meskipun syarat ini tidak berhak untuk ditaati. Saya kira lebih baik kita meniatkan semenjak awal untuk melahirkan anak-anak yang memberi kesan kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sekalipun masih kuliah. InsyaAllah yang demikian ini merupakan mujahadah. Kelak, kita akan merasakan keindahannya di dunia dan akhirat. InsyaAllah. Allahumma amin.
Sebenarnya, Anda halal melakukan hubungan intim kerana Anda telah mengikat pernikahan yang sah. Masalahnya adalah, kalau sesudah “kecelakaan yang halal” itu terjadi ternyata Anda perlu mengandung dari benih suami Anda sendiri. Apatah lagi kalau sebelumnya Anda sempat memakai alat-alat kontrasepsi dan tidak terjadi apa-apa, maka kehamilan yang terjadi dapat mengakibatkan Anda melakukan penolakan terhadap anak yang Anda kandung. Padahal ia adalah anak Anda sendiri, anak yang sah dari suami yang sah melalui hubungan intim yang sah dan halal. Sepenuhnya sah.
Rentetan akibatnya akan sangat panjang. Akibatnya terhadap Anda mahupun akibat terhadap suami kerana sebelumnya tidak memiliki orientasi untuk memiliki anak semasa kuliah. Rentetan akibatnya juga merugikan anak secara langsung untuk masa yang sangat panjang, karena penolakan Anda menyebabkan ketidakmampuan Anda untuk menerima keberadaannya dan memberikan kasih sayang kepadanya. Padahal kasih-sayang dan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam mendidik anak. Selain itu, penolakan terhadap anak dapat melahirkan sejumlah konflik-konflik psikologi yang berat.
Kalau misalnya Anda tidak sampai mengalami kecelakaan kerana Anda berdua mematuhi persyaratan itu, masih ada yang harus Anda perhatikan. Bagaimana pengaruh masalah-masalah psikologi yang terbentuk selama menunggu perkuliahan selesai, padahal ia telah memiliki isteri yang sah? Bagaimana kesiapan kalian untuk menjadi suami isteri yang baik dan saling menerima, apabila sebelumnya Anda terhalang untuk menjalin kebersamaan? Apatah lagi kalau masing-masing masih tinggal di tempat yang berlainan.
Akhirnya juga berkait dengan kesiapan untuk menjadi orang tua. Kurangnya orientasi sejak awal dapat menyebabkan Anda mengalami kejutan mental (shock) setelah berkumpul bersama. Setelah kalian menjalin kebersamaan selama beberapa waktu sebagai suami isteri dengan menjauhkan jima’, sekarang tiba-tiba Anda menghadapi bahawa seorang anak sebentar lagi akan lahir setelah beberapa bulan sebelumnya Anda dikumpuli.
Jadi, soal orientasi dan kesiapan menjadi orang tua ini yang berpotensi menimbulkan madharat dan mafsadat jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim, meskipun syarat ini tidak berhak untuk ditaati. Saya kira lebih baik kita meniatkan semenjak awal untuk melahirkan anak-anak yang memberi kesan kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sekalipun masih kuliah. InsyaAllah yang demikian ini merupakan mujahadah. Kelak, kita akan merasakan keindahannya di dunia dan akhirat. InsyaAllah. Allahumma amin.
Mempertimbangkan Kembali Syarat Nikah
Jacqueline McCord Leo pernah menulis sebuah buku berjudul New Womens Guide to Getting Married (Bantam Books, 1982). Buku ini menceritakan tentang pelbagai selok-belok proses pernikahan. Sejak dari tempahan undangan, jumlah pakaian yang perlu ditempah, warna apa yang perlu dipilih, keknya bagaimana, bunga apa yang perlu disediakan kalau menikah untuk pertama kali. Juga, pesta yang bagaimana kalau untuk perkahwinan yang kedua atau yang berikutnya. Termasuk di dalamnya, bagaimana jika Anda tidak menikah tetapi mendambakan proses pernikahan, karena hidup ini sedemikian sepi tanpa proses pernikahan (he he he, pelik juga mereka).
Tetapi di antara isi buku itu, yang paling menarik untuk pembahasan kita kali ini adalah mengenai syarat nikah. Dalam sebuah perkahwinan Amerika, ada surat perjanjian yang disebut sebagai Marriage Contracts. Isinya perjanjian mengenai beberapa masalah yang dianggap penting untuk ditaati, yang mencakup kerjaya dan tempat tinggal sampai perlakuan pihak yang satu kepada pihak yang lain. Surat perjanjian ini terdiri dari dua bahagian, iaitu bahagian tuntutan isteri yang harus ditaati oleh suami dan tuntutan (syarat nikah) suami yang harus ditaati oleh isteri. Misalnya, setiap Selasa selepas makan malam suami mengucup kening isteri dan mengatakan I love you.
Surat perjanjian ini dibuat untuk satu tempoh masa tertentu, contohnya 5 tahun. Sesudah tamat tempoh, mereka membuat surat perjanjian baru untuk disepakati selama tempoh yang lain. Bergantung kesepakatan bersama.
Melalui surat perjanjian semacam ini, hak-hak kedua pihak lebih terjamin dan mempunyai kedudukan hukum formal yang kuat. Isteri berhak melakukan complaint jika suami tidak mencium keningnya sambil mengatakan I love you sehabis makan malam hari Selasa.
Tetapi, dapatkah Anda membayangkan perasaan apa yang muncul ketika suami mengucup keningnya? Kira-kira mana yang lebih menyentuh hati, kucupan kerana terikat syarat nikah ataupun usapan lembut kerana perasaan sayang?
Melalui surat perjanjian ada kesepakatan yang diakui secara hukum. Tetapi ada harga yang perlu dibayar. Mereka menjadi lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang mengarah kepada tidak dipatuhinya perjanjian daripada sentuhan kasih sayang dalam peristiwa-peristiwa kecil setiap hari. Ini seterusnya mendekatkan kepada ketidakbahagiaan dan konflik daripada kemesraan dan saling menerima.
Jacqueline McCord Leo pernah menulis sebuah buku berjudul New Womens Guide to Getting Married (Bantam Books, 1982). Buku ini menceritakan tentang pelbagai selok-belok proses pernikahan. Sejak dari tempahan undangan, jumlah pakaian yang perlu ditempah, warna apa yang perlu dipilih, keknya bagaimana, bunga apa yang perlu disediakan kalau menikah untuk pertama kali. Juga, pesta yang bagaimana kalau untuk perkahwinan yang kedua atau yang berikutnya. Termasuk di dalamnya, bagaimana jika Anda tidak menikah tetapi mendambakan proses pernikahan, karena hidup ini sedemikian sepi tanpa proses pernikahan (he he he, pelik juga mereka).
Tetapi di antara isi buku itu, yang paling menarik untuk pembahasan kita kali ini adalah mengenai syarat nikah. Dalam sebuah perkahwinan Amerika, ada surat perjanjian yang disebut sebagai Marriage Contracts. Isinya perjanjian mengenai beberapa masalah yang dianggap penting untuk ditaati, yang mencakup kerjaya dan tempat tinggal sampai perlakuan pihak yang satu kepada pihak yang lain. Surat perjanjian ini terdiri dari dua bahagian, iaitu bahagian tuntutan isteri yang harus ditaati oleh suami dan tuntutan (syarat nikah) suami yang harus ditaati oleh isteri. Misalnya, setiap Selasa selepas makan malam suami mengucup kening isteri dan mengatakan I love you.
Surat perjanjian ini dibuat untuk satu tempoh masa tertentu, contohnya 5 tahun. Sesudah tamat tempoh, mereka membuat surat perjanjian baru untuk disepakati selama tempoh yang lain. Bergantung kesepakatan bersama.
Melalui surat perjanjian semacam ini, hak-hak kedua pihak lebih terjamin dan mempunyai kedudukan hukum formal yang kuat. Isteri berhak melakukan complaint jika suami tidak mencium keningnya sambil mengatakan I love you sehabis makan malam hari Selasa.
Tetapi, dapatkah Anda membayangkan perasaan apa yang muncul ketika suami mengucup keningnya? Kira-kira mana yang lebih menyentuh hati, kucupan kerana terikat syarat nikah ataupun usapan lembut kerana perasaan sayang?
Melalui surat perjanjian ada kesepakatan yang diakui secara hukum. Tetapi ada harga yang perlu dibayar. Mereka menjadi lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang mengarah kepada tidak dipatuhinya perjanjian daripada sentuhan kasih sayang dalam peristiwa-peristiwa kecil setiap hari. Ini seterusnya mendekatkan kepada ketidakbahagiaan dan konflik daripada kemesraan dan saling menerima.
Sekarang ketika Anda ingin mengajukan syarat-syarat pernikahan, pertimbangkanlah
kembali. Apakah syarat-syarat nikah yang Anda ajukan tidak membuka
pintu madharat dan mafsadat (kerosakan)? Ataupun syarat pernikahan Anda justeru akan mendekatkan kepada maslahat dan kemuliaan dunia akhirat?
Pertimbangkanlah secara jernih. Mintalah fatwa kepada hatimu.
Bertanyalah kepada nuranimu yang jernih. Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah
apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan
dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati,
walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka mem-
benarkannya.” (HR Ahmad).
Perkara syarat nikah adalah haq. Wanita berhak mengajukan syarat nikah.
Wallahu A’lam bishawab.
Kelak Ada Dialog
Jika masih terbuka kemungkinan untuk didialogkan bersama setelah menikah, ada baiknya Anda menahan diri untuk tidak mempersyaratkannya kepada suami. Kelak ada saat yang lebih luas untuk berbicara dari hati ke hati, sehingga ia dapat memahami dengan lebih baik ketika memikirkan dan mengambil keputusan atas masalah yang sebelumnya ingin Anda persyaratkan. Sementara Anda boleh mengambil jarak dari masalah. Boleh jadi, Anda justeru berubah setelah membicarakannya dari hati ke hati.
InsyaAllah yang demikian ini akan lebih dekat kepada kemaslahatan. Masalah yang Anda hadapi, boleh jadi justeru menumbuhkan mawaddah (rasa cinta) dan keharmonisan (ulfah) di antara Anda dan suami ketika dibicarakan bersama-sama.
Melalui dialog yang terbuka dan saling percaya, boleh jadi tercapai apa yang asalnya ingin Anda persyaratkan. Boleh jadi tidak. Tetapi di dalamnya Anda mendapat kefahaman bahawa di sebalik apa-apa yang tampak tidak baik, boleh jadi di dalamnya ada kebaikan yang melimpah. Sebaliknya, boleh jadi Anda menganggapnya baik padahal banyak madharat di dalamnya.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon kebaikan yang sempurna di dunia dan akhirat bagi kita dan keluarga kita, termasuk orang tua kita. Langkah untuk menikah sebahagiannya merupakan langkah untuk mencapai keselamatan atas diri kita dan orang tua kita, termasuk mertua kita. Kalau dari pernikahan itu akhlak dan agama kita menjadi baik sehingga darjat amal kita jauh lebih tinggi dari darjat amal orang tua kita misalnya, insyaAllah mereka akan disusulkan kepada kita meskipun darjat amalnya tidak mencukupi sejauh mereka tetap beriman. Yang demikian ini termasuk di antara barakah pernikahan. (Ya Allah, barakahilah kami, ya Allah, dan jadikanlah pernikahan kami penuh barakah).
Mereka yang pernikahannya barakah, insyaAllah kelak termasuk orang-orang yang di Hari Akhirat dikumpulkan Allah bersama orang tua dan keturunan mereka.
Perkara syarat nikah adalah haq. Wanita berhak mengajukan syarat nikah.
Wallahu A’lam bishawab.
Kelak Ada Dialog
Jika masih terbuka kemungkinan untuk didialogkan bersama setelah menikah, ada baiknya Anda menahan diri untuk tidak mempersyaratkannya kepada suami. Kelak ada saat yang lebih luas untuk berbicara dari hati ke hati, sehingga ia dapat memahami dengan lebih baik ketika memikirkan dan mengambil keputusan atas masalah yang sebelumnya ingin Anda persyaratkan. Sementara Anda boleh mengambil jarak dari masalah. Boleh jadi, Anda justeru berubah setelah membicarakannya dari hati ke hati.
InsyaAllah yang demikian ini akan lebih dekat kepada kemaslahatan. Masalah yang Anda hadapi, boleh jadi justeru menumbuhkan mawaddah (rasa cinta) dan keharmonisan (ulfah) di antara Anda dan suami ketika dibicarakan bersama-sama.
Melalui dialog yang terbuka dan saling percaya, boleh jadi tercapai apa yang asalnya ingin Anda persyaratkan. Boleh jadi tidak. Tetapi di dalamnya Anda mendapat kefahaman bahawa di sebalik apa-apa yang tampak tidak baik, boleh jadi di dalamnya ada kebaikan yang melimpah. Sebaliknya, boleh jadi Anda menganggapnya baik padahal banyak madharat di dalamnya.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon kebaikan yang sempurna di dunia dan akhirat bagi kita dan keluarga kita, termasuk orang tua kita. Langkah untuk menikah sebahagiannya merupakan langkah untuk mencapai keselamatan atas diri kita dan orang tua kita, termasuk mertua kita. Kalau dari pernikahan itu akhlak dan agama kita menjadi baik sehingga darjat amal kita jauh lebih tinggi dari darjat amal orang tua kita misalnya, insyaAllah mereka akan disusulkan kepada kita meskipun darjat amalnya tidak mencukupi sejauh mereka tetap beriman. Yang demikian ini termasuk di antara barakah pernikahan. (Ya Allah, barakahilah kami, ya Allah, dan jadikanlah pernikahan kami penuh barakah).
Mereka yang pernikahannya barakah, insyaAllah kelak termasuk orang-orang yang di Hari Akhirat dikumpulkan Allah bersama orang tua dan keturunan mereka.
Apakah kita tidak ingin dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan Allah dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 70, “Masuklah ke syurga beserta isterimu untuk digembirakan.” Selanjutnya dalam surat Ar-Ra’d [13] ayat 23, Allah menjanjikan, “Syurga
‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama mereka yang soleh di antara
orang tua mereka, isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka.”
Abdullah bin ‘Abbas, dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani
dan Ibnu Mardawaih, meriwayatkan sabda Rasulullah s.a.w., “Ketika
seseorang masuk ke syurga, ia bertanyakan orang tua, isteri, dan
anak-anaknya. Lalu dikatakan padanya, ‘Mereka tidak mencapai darjat
amalmu.’ Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka.’
lalu Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke syurga itu.”
Setelah itu Ibn ‘Abbas membaca surat Ath-Thuur [52] ayat 21, Dan orang-orang yang beriman, lalu anak-cucu mereka mengikuti dengan iman, Kami susulkan keturunan mereka pada mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikit pun.
Di hari ketika anak dan orang tua bercerai-berai, antara saudara-mara dan teman akrab menjadi musuh, mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dikecualikan sekalipun saat ini bekal kita masih jauh dari mencukupi. Mari kita perhatikan firman Allah s.w.t. dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 67, Teman-teman akrab pada hari itu sebahagian menjadi musuh kepada sebahagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.
Saya jadi teringat kepada sebuah hadis. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Harta yang utama adalah lisan yang sentiasa berzikir, hati yang sentiasa bersyukur, dan isteri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya.” (HR Ibnu Majah & Tirmidzi, hasan).
Mudah-mudahan Allah mengampuni segala kesalahan kita dalam melangkah. Sejak dari niat ketika akan berangkat sampai tindakan-tindakan sesudah akad pernikahan hingga walimahnya. Astaghfirullahal ‘adzim. Laa ilaaha illaa Anta, subhanaKa innii kuntu minadz dzalimin.
TENTANG BARAKAH
Kita telah membicarakan masalah barakah. Tetapi apakah yang dimaksud dengan barakah? Kita mulai dulu pembicaraan kita dengan orang yang membawa laknat dan orang yang membawa barakah. Kalau seorang yang suka membuat kerosakan ada di tengah kita, semua yang ada di situ boleh mendapatkan keburukannya. Adapun kalau seseorang yang bertakwa hadir di tengah kita, kehadirannya mendatangkan barakah, seperti kata Al Qur’an, Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan dari bumi… (QS 7: 96).
Setelah itu Ibn ‘Abbas membaca surat Ath-Thuur [52] ayat 21, Dan orang-orang yang beriman, lalu anak-cucu mereka mengikuti dengan iman, Kami susulkan keturunan mereka pada mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikit pun.
Di hari ketika anak dan orang tua bercerai-berai, antara saudara-mara dan teman akrab menjadi musuh, mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dikecualikan sekalipun saat ini bekal kita masih jauh dari mencukupi. Mari kita perhatikan firman Allah s.w.t. dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 67, Teman-teman akrab pada hari itu sebahagian menjadi musuh kepada sebahagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.
Saya jadi teringat kepada sebuah hadis. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Harta yang utama adalah lisan yang sentiasa berzikir, hati yang sentiasa bersyukur, dan isteri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya.” (HR Ibnu Majah & Tirmidzi, hasan).
—
Jadi, keputusan untuk menikah sampai kepada pernik-pernik pernikahan banyak mempengaruhi barakah atau tidaknya pernikahan. Wallahu A’lam bishawab.Mudah-mudahan Allah mengampuni segala kesalahan kita dalam melangkah. Sejak dari niat ketika akan berangkat sampai tindakan-tindakan sesudah akad pernikahan hingga walimahnya. Astaghfirullahal ‘adzim. Laa ilaaha illaa Anta, subhanaKa innii kuntu minadz dzalimin.
TENTANG BARAKAH
Kita telah membicarakan masalah barakah. Tetapi apakah yang dimaksud dengan barakah? Kita mulai dulu pembicaraan kita dengan orang yang membawa laknat dan orang yang membawa barakah. Kalau seorang yang suka membuat kerosakan ada di tengah kita, semua yang ada di situ boleh mendapatkan keburukannya. Adapun kalau seseorang yang bertakwa hadir di tengah kita, kehadirannya mendatangkan barakah, seperti kata Al Qur’an, Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan dari bumi… (QS 7: 96).
Untuk menggambarkan konsep laknat dan barakah ini,
kata K.H. Jalaluddin Rakhmat, Rasulullah s.a.w. membuat perbandingan
mengenai orang yang bergaul dengan orang yang jahat dan dengan orang
yang soleh. Kata Rasulullah s.a.w., kalau Anda bergaul dengan orang
soleh, Anda seperti bergaul dengan pedagang minyak wangi. Walaupun Anda
tidak terkena percikan minyak wangi itu, Anda tetap tercium harum oleh
orang-orang yang ada di sekitar Anda. Sementara itu, jika Anda bergaul
dengan orang yang jahat, maka Anda seperti bergaul dengan tukang besi.
Walaupun Anda tidak tercoreng arangnya, paling tidak Anda sesak nafas
kaerana kepulan asapnya.
Sebuah pernikahan disebut barakah jika
terjadinya akad mendatangkan kebaikan tidak hanya bagi kedua suami
isteri itu. Seperti minyak wangi, orang di sekeliling pun turut
merasakan barakahnya. Pernikahan mendatangkan kemanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya, sekalipun tak kelihatan secara jelas.
Adakalanya orang baru merasakan
wanginya setelah wewangian itu lalu. Seperti ketika ada trak yang
mengangkut durian, kita hanya mencium wanginya setelah trak berlalu
beberapa meter. Adakalanya, orang merasakan kemanfaatan tetapi tidak
tahu sumber wangian yang dihirupnya.
Sebaliknya, pernikahan yang justeru
mendatangkan kerosakan, adakalanya baru terasa setelah lewat jauh. Kita
merasakan bau yang menusuk, justeru setelah motor yang mengangkut ikan
masin agak basah telah lepas beberapa ratus meter di hadapan kita.
Mohammad Fauzil Adhim(Kado Pernikahan)
0 komentar:
Posting Komentar