Kamis, 05 April 2012

Bab 6 – “Di Manakah Wanita-wanita Barakah Itu? Bahagian 3″

Bab 6 – “Di Manakah Wanita-wanita Barakah Itu? Bahagian 3″

MENYUSAHKAN PROSES PERNIKAHAN
“Pernikahan itu sangat sensitif,”
kata Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., “dan tergantung kepada diri masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.”
Pernikahan itu sangat sensitif. Pada saat itu seseorang menjadi peka, lebih peka dari sebelumnya. Boleh jadi ia menjadi lebih peka terhadap kebajikan-kebajikan dan akhlak mulia. Boleh jadi ia justeru menjadi peka terhadap kekurangan-kekurangan orang lain sekalipun sedikit, sedangkan kebaikannya yang banyak tidak nampak di mata.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau sebuah pernikahan mengalami keretakan dan kegersangan, yang merasakan panas serta gerahnya tidak hanya suami dan isteri. Sanak-saudara pun akan turut merasakan. Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau masing-masing  berusaha untuk saling menyelami dan menguatkan jalinan perasaan (al-athifah) untuk kebaikan bersama, goncangan-goncangan besar pun insyaAllah tidak menggoyahkan. Apalagi goncangan kecil, baik dari tetangga mahupun keluarga.
Pernikahan  itu  sangat  sensitif.  Kalau  masing-masing  berusaha  untuk mendapatkan kemuliaan –bukan dimuliakan– insyaAllah mereka akan meraih rumahtangga yang barakah, sakinah (menenteramkan jiwa) mawaddah wa rahmah (diliputi oleh rasa cinta dan kasih-sayang).
Pernikahan itu sangat sensitif. Segala jalan yang menyebabkan munculnya keraguan  dan  kebimbangan  mengenai  akhlak  maupun  fizikalnya,  perlu  dijauhkan. Setiap pintu yang dapat membuka penyesalan perlu ditutup, sedangkan pintu yang mendatangkan kemantapan dan terhapusnya jalan penyesalan sebaiknya dibuka lebar. Sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan merupakan jalan besar menuju keluarga yang barakah, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Sementara itu, menyusahkan proses pernikahan dapat membuka pintu-pintu madharat. Menyusahkan proses pernikahan melapangkan jalan fitnah dan mafsadat (kerosakan) masyarakat. Tetapi yang ingin saya bahas di sini adalah madharat bagi suami isteri yang akan menikah.
Rasulullah  s.a.w. bersabda,“Seorang  wanita  yang  penuh  barakah  dan  mendapat anugerah Allah adalah yang murah maharnya, mudah menikahinya, dan baik akhlaknya. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sukar menikahinya, dan buruk akhlaknya.”
Ada beberapa madharat yang bisa muncul akibat proses pernikahan yang dipersukar:
Pertama,
Menyebabkan Pembandingan
Sukarnya menempuh proses pernikahan, dapat menyebabkan orang melakukan pembandingan. Ia membandingkan proses yang ia jalani. Atau pun membandingkan orang yang dikehendaki.
Adakalanya, orang membandingkan dengan proses yang ditempuh oleh orang lain.  Pembandingan  menyebabkan  munculnya  penilaian.  Sebahagian  dari  penilaian masih berada dalam kebenaran, akan tetapi sebahagian lagi dapat menjatuhkan kepada prasangka dan dosa. Ia menilai i’tikad calon teman hidupnya mahupun keluarganya.
Adakalanya, orang membandingkan calon isterinya dengan orang lain. Pembandingnya boleh jadi memang benar-benar ada, boleh jadi khayalan. Ia tidak membandingkan calon isterinya dengan seseorang, tetapi membandingkan dengan apa yang diangan-angankannya di waktu dulu. Sumber pembandingan boleh jadi cerita orang, boleh juga buku-buku tentang nikah.
Mungkin ia membandingkan calonnya dalam aspek psikologi. Misalnya, keramahan dan kelembutannya. Mungkin juga ia membandingkan aspek fizikal si calon dengan orang lain, sehingga ia menjadi kurang tenang dan yakin dibanding sebelumnya. Padahal, ketika sudah menikah sahaja seorang isteri perlu menjauhkan suami dari membanding-bandingkan  kecantikan  isteri  dengan  orang  lain.  Sebab  ini  dapat membuka jalan ketidakpuasan dan penyimpangan.
Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,
Seorang wanita tidak boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian ia ceritakan kepada suaminya keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah melihat wanita tersebut.” (HR Bukhari & Muslim).
Kedua,
Menimbulkan Keraguan
Ketika Mughirah bin Syu’bah r.a. mahu meminang seorang wanita, begitu An- Nasa’i menceritakan dalam hadisnya, Rasulullah s.a.w. bertanya, “Sudahkah kamu melihat wanita itu?”
Kemudian Mughirah menjawab, “Belum.”
Rasulullah s.a.w. kemudian berkata, “Lihatlah wanita itu, kerana akan mengurangi penyesalan antara kedua belah pihak. Yakni memberi kemungkinan tumbuhnya keserasian, keselarasan, dan kebersamaan antara keduanya.”
Al-Amasy berkata, “Setiap perkahwinan yang dilangsungkan tanpa saling melihat akan menyebabkan kesusahan dan kesedihan.”
Melihat wanita yang akan dinikahi dapat menumbuhkan keyakinan. Ia lebih yakin kepada satu pilihan. Mudah-mudahan mereka akan memperoleh keserasian dan keselarasan setelah menikah.
Ketika proses pernikahan dipersukar, orang akan membanding-bandingkan. Ini membuka jalan ketidakpuasan dan ketidakrelaan.
Proses pernikahan yang dipersukar juga dapat mengakibatkan orang menjadi tidak  yakin melangkah, sekurang-kurangnya menjadi ragu. Padahal keyakinan terhadap pilihan  sangat  diperlukan  agar  tercapai  keselarasan, keserasian  dan  kebersamaan antara keduanya. Demi mencapai keyakinan agar tidak mengangankan yang lain, orang boleh melihat calonnya.
Mari kita lihat kembali kisah Mughirah bin Syu’bah r.a. melalui jalur lain:
Ketika Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang wanita, Nabi s.a.w.  bersabda  kepadanya,  “Pergilah  untuk  melihat  wanita  itu,  karena  dengan melihat itu akan memberikan jaminan bagi kelangsungan hubunganmu berdua”. Dia melaksanakannya, lalu menikahinya. Di kemudian hari ia menceritakan tentang kerukunan dirinya dengan wanita tersebut. (HR Ibnu Majah, An-Nasa’i dan At- Tirmidzi).
Kalau  orang  merasakan  keraguan,  barakah   pernikahan  boleh  berkurang.
Na’udzubillahi min dzalik.
Ketiga,
Melemahkan Kesediaan untuk Berjuang Bersama
Proses pernikahan yang dipersukar boleh melemahkan kesediaan untuk berjuang bersama-sama. Kalau asalnya keluarga dibayangkan sebagi perahu yang perlu dikayuh bersama-sama, sukarnya proses pernikahan dapat menyebabkan fikiran berubah. Ia telah membayar proses pernikahan dengan kesusahan. Setelah akad nikah tercapai, tibalah saatnya untuk menjadi penumpang sahaja di perahu itu. Tidak mengayuhnya bersama-sama.
Keluarga yang demikian ini akan tempang. Apatah lagi kalau masing-masing merasa paling banyak berjuang dalam mengibarkan layar pernikahan.
Keempat,
Mengeraskan Hati
Proses pernikahan yang sukar dapat mengeraskan hati dan meninggikan tuntutan psikologi terhadap isteri. Kerasnya hati menyebabkan komunikasi begitu kering. Tidak ada dialog dari hati ke hati, sehingga mata perlu menangis kerana  ada yang mengikis perhatian orang yang tercinta. Jarang sekali ada silaturrahmi antara anggota keluarga yang tinggal serumah. Sehingga masing-masing berjalan sendirian. Kalau ada kebahagiaan, ia rasakan sendiri. Kalau ada keperihan, ia tangisi sendiri.
Tingginya tuntutan psikologi terhadap isteri, menyebabkan suami kurang merasakan  kebaikan-kebaikan  isteri  walaupun  sebenarnya  sangat  besar.  Ia  selalu merasa kecewa dan kesal terhadap isterinya. Padahal isteri sudah melakukan banyak hal. Ia mudah menyalahkan isterinya sebagai orang yang tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik. Meskipun ia tahu setiap orang mempunyai kekurangan (sama seperti dirinya).
Tuntutan psikologi yang tinggi menjadikan apa yang dipandang selalu kurang. Kalau  Anda  memakai  cermin mata  gelap,  matahari  yang  terang  pun  kelihatan redup!
Antara Mempersukar dan Kesukaran
Adakalanya  terhambatnya  akad  nikah  kerana  keluarga  wanita  mempersukar proses pernikahan. Adakalanya, kedua pihak tidak mempersukar proses, tetapi mereka menghadapi kesukaran-kesukaran. Yang pertama, membuat orang merasa terhalang dan dihambat. Yang kedua, insyaAllah dapat memperkukuh ikatan ketika keduanya merasa mendapat rintangan yang perlu dihadapi dengan baik, arif, bijaksana, dan tenang.
Adakalanya sebuah pernikahan perlu menghadapi kesukaran untuk menguji kesungguhan dan kejernihan niat. Ketika menghadapi masalah ini, sebahagian mungkin lari atau segera berhenti di tengah jalan. Sebahagian lagi tetap mencuba untuk tidak menyerah.
Kesukaran adalah perkara yang wajar, bahkan sangat wajar, dalam sebuah mujahadah  (perjuangan).  Mencapai  pernikahan  yang  barakah  adalah  perjuangan untuk menjaga kesucian dan kehormatan. Kesukaran adalah kelayakan. Ia seperti hujan yang diikuti petir, sedangkan petir membawa muatan tenaga yang besar. Sebelum hujan turun, terlebih dulu ada awan. Mereka yang berada di bawahnya merasa kepanasan.
Meskipun demikian, kesukaran yang merupakan ujian kesungguhan niat agar mendapat kemuliaan dan barakah Allah, berbeza sekali dengan kesukaran karena mempersukar diri. Yang pertama adalah takdir Allah yang di dalamnya pasti ada kebaikan. Yang kedua, Allahu a’lam bishawab. Saya tidak bisa menjelaskan.
Bagaimana memahaminya? Anda boleh jadi tidak berpuasa ketika Ramadhan tiba. Pagi hari  Anda  makan  sahur  bersama  keluarga.  Sesudah  itu  meniatkan  untuk melakukan puasa.  Siang  harinya Anda memasukkan batang  pensil  ke tenggorokan  sehingga  Anda  muntah-muntah.  Akibatnya,  puasa Anda batal.
Boleh jadi sebaliknya. Anda sudah berniat puasa. Pukul tiga pagi sudah masak dan makan sahur. Pagi sampai tengah hari menjaga diri dari melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Tetapi pukul lima petang Anda datang bulan (menstruasi) sehingga Anda perlu berhenti dari berpuasa.
Yang pertama Anda batal puasa karena mempersukar diri. Yang kedua, Anda tidak jadi berpuasa karena mendapatkan kesukaran yang tidak bersumber dari diri Anda. Yang pertama adalah perbuatan dosa, karena Anda memiliki pilihan untuk taat atau tidak taat kepada perintah Allah. Yang kedua insyaAllah justeru memberi kemuliaan bagi Anda.  Kedudukan Anda terangkat jika Anda redha. Anda tidak berdosa ketika membatalkan puasa, karena Anda menghadapi “paksaan takdir” (jabr) yang tidak dapat Anda tentukan.
Keduanya perlu diganti dengan puasa di lain hari. Tapi makna keduanya sangat berbeza.
Ada contoh lain. Ketika puasa, Anda sakit, sehingga Anda tidak berpuasa. Jika Anda redha, Allah akan membebaskan dosa-dosa Anda sesuai dengan sakit yang Anda alami dan keredhaan Anda menerima. Dalam hal ini, kesukaran meningkatkan kemuliaan dan kedudukan Anda.
Walaupun demikian, boleh jadi Anda sakit kerana Anda tidak mahu mengambil rukhshah (keringanan). Misalnya Anda melakukan perjalanan jauh yang meletihkan dan membahayakan tubuh jika tidak makan, akan tetapi Anda tidak mengambil hak Anda untuk tidak berpuasa. Akibatnya Anda sakit. Padahal Allah dan RasulNya telah memberi keringanan.
Dalam kes ini, Anda tidak mendapat kesukaran karena takdir memaksakan demikian. Anda sakit kerana Anda menzalimi diri sendiri. Anda mempersukar diri. Anda memberat-beratkan, sehingga Anda tewas.
Wallahu A’lam bishawab wallahul musta’an.
MENGAJUKAN SYARAT NIKAH
Sebahagian wanita mengajukan syarat-syarat ketika seorang lelaki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu muncul karena kehendaknya sendiri. Tetapi, adakalanya syarat itu merupakan kehendak orang tua atau keluarga yang dibebankan kepada anak gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Pokok persoalan berhubung dengan syarat-syarat nikah tidak terletak kepada siapa yang pertama mempersyaratkan, isteri sendiri atau keluarganya. Tetapi berkaitan dengan kedudukan syarat itu menurut syari’at.
Kita ikuti penjelasan Abu Bakr Jabir Al-Jazairi tentang masalah ini. Jika persyaratan yang ditetapkannya itu menegakkan dan memperkuat akad nikah, kata Al-Jazairi, seperti syarat nafkah, menggauli, atau pembahagian yang adil apabila peminangnya sudah beristeri, maka syarat-syarat tersebut berkaitan langsung dengan asal (pokok) akad, sehingga tidak perlu ditetapkan lagi.
Jika syaratnya itu merosak akad nikah, seperti disyaratkan tidak boleh bersenang-senang  dengannya  (termasuk  bersetubuh,  pent.),  atau  tidak  perlu  menyediakan makanan dan minuman yang biasa disiapkan oleh wanita, maka syarat tersebut tidak benar dan tidak wajib memenuhinya. Hal ini disebabkan syarat-syarat tersebut bertentangan dengan tujuan menikahinya, demikian kata Al-Jazairi dalam Pedoman Hidup Muslim (Litera AntarNusa, 1996).
Masih dalam buku yang sama, Al-Jazairi menjelaskan bahawa jika syarat-syarat tersebut keluar dari masalah tersebut seluruhnya, seperti si wanita mensyaratkan calon untuk mengunjungi keluarganya, atau jangan membawanya ke luar negeri misalnya, maka selama bukan syarat yang bersifat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi. Jika tidak, wanita boleh mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika mahu.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Syarat yang paling utama untuk dipenuhi, adalah persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersetubuh dengan isteri).” (HR Bukhari & Muslim).
Masalah lain berkenaan dengan syarat nikah adalah berkaitan sah atau tidaknya akad nikah. Adakalanya nikah sah tetapi syaratnya batal, misalnya mensyaratkan tidak perlu memberi mas kahwin atau nafkah. Sekalipun nikahnya sah, tetapi kewajiban membayar mas kahwin dan memberi nafkah tetap tidak terhapus.
Ada hadis yang dapat kita renungkan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hanya satu syarat saja yang tidak ada pada Al-Qur-’an adalah salah, apalagi jika ada 100 syarat.” (HR Bukhari).
Pembicaraan lebih lanjut tentang masalah ini boleh diperiksa di berbagai sumber. Anda juga boleh bertanya kepada pihak-pihak yang berhak, sehingga Anda mendapat kejelasan tentang berbagai pendapat yang berbeza-beza dalam perkara ini. Bukan bahagian saya untuk membahasnya di sini. Saya belum memiliki hak untuk itu.
Sekali lagi, jika  Anda hendak mengajukan syarat-syarat nikah kepada calon suami Anda, periksa dulu berbagai sumber yang membahas masalah ini agar Anda mendapat kefahaman hukum yang matang. Bertanyalah kepada orang-orang yang faqih  dan  adil,  agar  Anda  mendapatkan  penjelasan  yang  mendalam  dan  terperinci, sehingga terang apa-apa yang kabur. Sehingga Anda mendapatkan keyakinan setelah Anda  berada  dalam  keraguan.  Dan  itu,  sekali  lagi,  bukan  bahagian  saya  untuk membahas.  Saya  takut  tergelincir  dalam  masalah  ini  memandangkan  masih  sangat sedikitnya ilmu saya.
Bahagian saya sekarang insyaAllah membahas maslahat dan madharat di sebalik pengajuan syarat-syarat kepada calon suami yang akan menikahi.
Mempersyaratkan Tinggal Di Rumah Isteri
Atsram menceritakan, seorang lelaki menikahi seorang wanita dan ia mensyaratkan tetap tinggal di rumahnya. Kemudian lelaki itu berhajat untuk membawa isterinya pindah, sedangkan  isterinya tidak  mahu  kemudian mengadukan masalahnya kepada Khalifah Umar.
Umar berkata bahwa wanita itu mempunyai hak mesti dipenuhi syaratnya. Maka lelaki itu berkata, “Kalau begitu engkau menceraikan kami.” Maka Umar berkata, “Putusnya hak tergantung pada syarat.”
Ada dua pendapat dalam masalah ini. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa syarat seperti ini hukumnya batal, tetapi akad nikahnya sah. Imam Ahmad, Auza’y dan Abu Ishaq memandang syarat ini sah dan wajib dipenuhi.
Jika kita mengikuti pendapat yang terakhir, maka ikatan pernikahan itu telah berakhir dengan perceraian ketika suami terpaksa berpindah tempat tinggal. Kata Umar bin Khaththab, “Putusnya hak tergantung pada syaratnya.”
Jika  kita   mengikuti  pendapat  pertama,  masalahnya  tidak  selesai  dengan mudah.  Kalau  suami  mengabaikan  persyaratan  isteri  atau  keluarga  isteri,  akan muncul masalah-masalah psikologi yang boleh menjadi bibit madharat dan mafsadat (kerosakan). Misalnya, isteri merasa dilecehkan dan tidak diperhatikan haknya. Isteri boleh mengalami kekecewaan dan mengarahkan kepada perbuatan nusyuz (pembangkangan, mendurhakai suami).
Jadi, ada masalah yang tidak mudah di sini. Ketika seorang suami bermaksud melakukan kebaktian kepada orang tua, terutama ibu, selama beberapa minggu misalnya, masalah boleh timbul. Baik masalah pada suami, maupun pada isteri. Padahal, orang  yang  harus  ditaati  oleh  seorang  lelaki  yang  pertama  adalah  orang tua, terutama ibu. Sedang bagi wanita yang pertama kali harus ditaati sesudah menikah adalah suaminya, sejauh tidak bertentangan dengan hukum.
Ini baru satu contoh masalah. Sepanjang hidup, manusia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan. Kadang-kadang pilihan hidup menghadapkan orang kepada kemungkinan pindah dari tempat tinggalnya untuk mencapai kemaslahatan dan barakah. Demikian juga ketika ia telah menjalin ikatan pernikahan, keluarga itu boleh berhadapan dengan kemungkinan pindah kawasan penempatan karena ada sesuatu yang boleh mendatangkan kemaslahatan, sakinah dan barakah bagi keduanya. Atau, perpindahan itu mempunyai makna syi’ar, ketaatan, dan bahkan kecintaan terhadap agama.
Wallahu A’lam bishawab. Wallahul musta’an.
Saya teringat nasihat Yahya Ibn Mu’adz kepada saudaranya. Ketika saudaranya mengemukakan ingin tinggal di tempat yang paling baik di muka bumi, Yahya menjawab,  ”Berkenaan  perkataanmu  tentang  keinginanmu  tinggal  tinggal  di tempat yang paling baik di muka bumi ini, jadikanlah dirimu sebagai orang yang terbaik di antara manusia, kemudian menetaplah di manapun engkau suka. Sebuah tempat menjadi terhormat karena penduduknya, bukan karena yang lain.”
Di balik apa-apa yang tidak kita sukai, kadang-kadang Allah memberikan kebaikan yang sangat besar. Kadang-kadang kita mengharap hujan, tetapi mengeluh ketika ada mendung yang tebal. Sementara di sebalik apa-apa yang kita sukai, boleh jadi terdapat banyak kerugian yang tidak kita lihat saat ini.
Mensyaratkan Tidak Berhubungan Intim
“Seutama-utama syarat yang harus dipenuhi,” kata Rasulullah Saw., “adalah persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersenggama dengan istri).” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam hadis ini istilah yang dipakai adalah mastahlaltum bihi furuj. Kata kunci dalam soal kita sekarang adalah furuj, farji (alat kemaluan). Bukan nikah atau zawaj (kahwin). Ini menunjukkan kepada kejelasan dan kekuatan kedudukan hubungan kelamin sebagai sesuatu yang menyebabkan munculnya persyaratan. Sementara, tidak mungkin   melakukan   hubungan   kelamin   secara   halal   tanpa   melakukan   akad pernikahan. Kerana itu, memang tidak salah jika diertikan persyaratan dalam rangka menikah, tetapi titik tolaknya ada pada masalah persyaratan untuk terjadinya hubungan kelamin. Begitu.
Dalam fiqh dikenal sebuah kaedah, perintah untuk melakukan sesuatu bererti perintah untuk melakukan perbuatan yang menjadi sebab terjadinya sesuatu. Kalau Anda diperintahkan solat, bererti Anda juga diperintahkan berwudhu. Sebab tidak sah solat Anda jika Anda tidak memiliki wudhu (jika Anda berhadas). Meskipun begitu, perintah berwudhu tidak menunjukkan perintah untuk shalat.
Nah, jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim kelak sesudah menikah sampai Anda lulus kuliah, apakah yang demikian ini tidak bertentangan dengan akad dan tujuan menikah? Padahal, salah satu tujuan menikah adalah untuk memelihara kehormatan kemaluan agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan karena menyalurkan pada yang tidak halal.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu untuk berkahwin, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.” (HR Bukhari & Muslim).
Syarat pernikahan yang seperti ini, sepanjang yang saya ketahui, tidak perlu ditaati.  Tetapi  persoalan  yang  ingin  saya  bahas  di  sini  bukan  boleh atau tidaknya melanggar persyaratan yang merosak makna dan tujuan akad nikah. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat pintu-pintu madharat dan mafsadat (kerosakan) yang boleh terjadi akibat adanya persyaratan semacam ini.
Jika  Anda  mempersyaratakan kepada  suami  Anda  kerana  Anda  tidak  ingin mengandung selama Anda masih kuliah atas berbagai pertimbangan, baik pertimbangan sendiri maupun pertimbangan bersama dengan suami yang sama-sama masih kuliah, maka ada yang perlu diperhatikan. Ketika Anda sudah terikat oleh pernikahan yang sah, maka halallah apa-apa yang sebelumnya haram dan dosa besar. Anda berhak mendapat kesenangan-kesenangan khusus bagi suami isteri. Pada saat-saat tertentu, gejolak itu rendah. Tetapi pada saat-saat lain, gejolak bisa meninggi bahkan tak terkendali.
Kalau waktu hari hujan, ais tidak menarik. Tapi kalau matahari sedang terik seteriknya, keinginan yang mendesak untuk mereguk kenikmatan tak mampu ditahan lagi. Nah, ibarat keperluan terhadap ais, segalanya boleh terjadi saat Anda berdua saling memendam kerinduan.
Sebenarnya, Anda halal melakukan hubungan intim kerana Anda telah mengikat pernikahan yang sah. Masalahnya adalah, kalau sesudah “kecelakaan yang halal” itu terjadi ternyata Anda perlu mengandung dari benih suami Anda sendiri. Apatah lagi kalau sebelumnya Anda sempat memakai alat-alat kontrasepsi dan tidak terjadi apa-apa, maka kehamilan yang terjadi dapat mengakibatkan Anda melakukan penolakan terhadap anak yang Anda kandung. Padahal ia adalah anak Anda sendiri, anak yang sah dari suami yang sah melalui hubungan intim yang sah dan halal. Sepenuhnya sah.
Rentetan  akibatnya  akan  sangat  panjang.  Akibatnya  terhadap  Anda  mahupun akibat terhadap suami kerana sebelumnya tidak memiliki orientasi untuk memiliki anak semasa kuliah. Rentetan akibatnya juga merugikan anak secara langsung untuk masa yang sangat panjang, karena penolakan Anda menyebabkan ketidakmampuan Anda untuk menerima keberadaannya dan memberikan kasih sayang kepadanya. Padahal kasih-sayang dan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam mendidik anak. Selain itu, penolakan terhadap anak dapat melahirkan sejumlah konflik-konflik psikologi yang berat.
Kalau misalnya Anda tidak sampai mengalami kecelakaan kerana Anda berdua mematuhi persyaratan itu, masih ada yang harus Anda perhatikan. Bagaimana pengaruh masalah-masalah psikologi yang terbentuk selama menunggu perkuliahan selesai, padahal ia telah memiliki isteri yang sah? Bagaimana kesiapan kalian untuk menjadi suami isteri yang baik dan saling menerima, apabila sebelumnya Anda terhalang untuk menjalin kebersamaan? Apatah lagi kalau masing-masing masih tinggal di tempat yang berlainan.
Akhirnya juga berkait dengan kesiapan untuk menjadi orang tua. Kurangnya orientasi sejak awal dapat menyebabkan Anda mengalami kejutan mental (shock) setelah berkumpul bersama. Setelah kalian menjalin kebersamaan selama beberapa waktu sebagai suami isteri dengan menjauhkan jima’, sekarang tiba-tiba Anda menghadapi bahawa seorang anak sebentar lagi akan lahir setelah beberapa bulan sebelumnya Anda dikumpuli.
Jadi, soal orientasi dan kesiapan menjadi orang tua ini yang berpotensi menimbulkan madharat dan mafsadat jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim, meskipun syarat ini tidak berhak untuk ditaati. Saya kira lebih baik kita meniatkan semenjak awal untuk melahirkan anak-anak yang memberi kesan kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sekalipun masih kuliah. InsyaAllah yang demikian ini merupakan mujahadah. Kelak, kita akan merasakan keindahannya di dunia dan akhirat. InsyaAllah. Allahumma amin.
Mempertimbangkan Kembali Syarat Nikah
Jacqueline McCord Leo pernah menulis sebuah buku berjudul New Womens Guide to Getting Married (Bantam Books, 1982). Buku ini menceritakan tentang pelbagai selok-belok proses pernikahan. Sejak dari tempahan undangan, jumlah pakaian yang perlu ditempah, warna apa yang perlu dipilih, keknya bagaimana, bunga apa yang perlu disediakan kalau menikah untuk pertama kali. Juga, pesta yang bagaimana kalau untuk perkahwinan yang kedua atau yang berikutnya. Termasuk di dalamnya, bagaimana jika Anda tidak menikah tetapi mendambakan proses pernikahan, karena hidup ini sedemikian sepi tanpa proses pernikahan (he he he, pelik juga mereka).
Tetapi di antara isi buku itu, yang paling menarik untuk pembahasan kita kali ini adalah mengenai syarat nikah. Dalam sebuah perkahwinan Amerika, ada surat perjanjian yang disebut sebagai Marriage Contracts. Isinya perjanjian mengenai beberapa masalah yang dianggap penting untuk ditaati, yang mencakup kerjaya dan tempat tinggal sampai perlakuan pihak yang satu kepada pihak yang lain. Surat perjanjian ini terdiri dari dua bahagian, iaitu bahagian tuntutan isteri yang harus ditaati oleh suami dan tuntutan (syarat nikah) suami yang harus ditaati oleh isteri. Misalnya, setiap Selasa selepas makan malam suami mengucup kening isteri dan mengatakan I love you.
Surat perjanjian ini dibuat untuk satu tempoh masa tertentu, contohnya 5 tahun. Sesudah tamat tempoh, mereka membuat surat perjanjian baru untuk disepakati selama tempoh yang lain. Bergantung kesepakatan bersama.
Melalui surat perjanjian semacam ini, hak-hak kedua pihak lebih terjamin dan mempunyai kedudukan hukum formal yang kuat. Isteri berhak melakukan complaint jika suami tidak mencium keningnya sambil mengatakan I love you sehabis makan malam hari Selasa.
Tetapi, dapatkah Anda membayangkan perasaan apa yang muncul ketika suami mengucup keningnya? Kira-kira mana yang lebih menyentuh hati, kucupan kerana terikat syarat nikah ataupun usapan lembut kerana perasaan sayang?
Melalui surat perjanjian ada kesepakatan yang diakui secara hukum. Tetapi ada harga yang perlu dibayar. Mereka menjadi lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang mengarah kepada tidak dipatuhinya perjanjian daripada sentuhan kasih sayang dalam peristiwa-peristiwa kecil setiap hari. Ini seterusnya mendekatkan kepada ketidakbahagiaan dan konflik daripada kemesraan dan saling menerima.
Sekarang ketika Anda ingin mengajukan syarat-syarat pernikahan, pertimbangkanlah kembali. Apakah syarat-syarat nikah yang Anda ajukan tidak membuka pintu  madharat dan  mafsadat (kerosakan)? Ataupun syarat  pernikahan Anda justeru akan mendekatkan kepada maslahat dan kemuliaan dunia akhirat?
Pertimbangkanlah secara jernih. Mintalah fatwa kepada hatimu. Bertanyalah kepada  nuranimu  yang  jernih.  Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  “Mintalah  fatwa  dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka mem- benarkannya.” (HR Ahmad).
Perkara syarat nikah adalah haq. Wanita berhak mengajukan syarat nikah.
Wallahu A’lam bishawab.
Kelak Ada Dialog
Jika masih terbuka kemungkinan untuk didialogkan bersama setelah menikah, ada baiknya Anda menahan diri untuk tidak mempersyaratkannya kepada suami. Kelak ada saat yang lebih luas untuk berbicara dari hati ke hati, sehingga ia dapat memahami dengan lebih baik ketika memikirkan dan mengambil keputusan atas masalah yang sebelumnya ingin Anda persyaratkan. Sementara Anda boleh mengambil jarak dari masalah. Boleh jadi, Anda justeru berubah setelah membicarakannya dari hati ke hati.
InsyaAllah yang demikian ini akan lebih dekat kepada kemaslahatan. Masalah yang Anda hadapi, boleh jadi justeru menumbuhkan mawaddah (rasa cinta) dan keharmonisan (ulfah) di antara Anda dan suami ketika dibicarakan bersama-sama.
Melalui dialog yang terbuka dan saling percaya, boleh jadi tercapai apa yang asalnya ingin Anda persyaratkan. Boleh jadi tidak. Tetapi di dalamnya Anda mendapat kefahaman bahawa di sebalik apa-apa yang tampak tidak baik, boleh jadi di dalamnya ada kebaikan yang melimpah. Sebaliknya, boleh jadi Anda menganggapnya baik padahal banyak madharat di dalamnya.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon kebaikan yang sempurna di dunia dan akhirat bagi kita dan keluarga kita, termasuk orang tua kita. Langkah untuk menikah sebahagiannya merupakan langkah untuk mencapai keselamatan atas diri kita dan orang tua kita, termasuk mertua kita. Kalau dari pernikahan itu akhlak dan agama kita menjadi baik sehingga darjat amal kita jauh lebih tinggi dari darjat amal orang tua kita misalnya, insyaAllah mereka akan disusulkan kepada kita meskipun darjat amalnya tidak mencukupi sejauh mereka tetap beriman. Yang demikian ini termasuk di antara barakah pernikahan. (Ya Allah, barakahilah kami, ya Allah, dan jadikanlah pernikahan kami penuh barakah).
Mereka yang pernikahannya barakah, insyaAllah kelak termasuk orang-orang yang di Hari Akhirat dikumpulkan Allah bersama orang tua dan keturunan mereka.
Apakah kita tidak ingin dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan Allah dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 70, “Masuklah ke syurga beserta isterimu untuk digembirakan.” Selanjutnya dalam surat Ar-Ra’d [13] ayat 23, Allah menjanjikan, “Syurga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama mereka yang soleh di antara orang tua mereka, isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka.”
Abdullah bin ‘Abbas, dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih, meriwayatkan sabda Rasulullah s.a.w., “Ketika seseorang masuk ke syurga, ia bertanyakan orang tua, isteri, dan anak-anaknya. Lalu dikatakan padanya, ‘Mereka tidak mencapai darjat amalmu.’ Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka.’ lalu Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke syurga itu.”
Setelah itu Ibn ‘Abbas membaca surat Ath-Thuur [52] ayat 21, Dan orang-orang yang beriman, lalu anak-cucu mereka mengikuti dengan iman, Kami susulkan keturunan mereka pada mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikit pun.
Di hari ketika anak dan orang tua bercerai-berai, antara saudara-mara dan teman akrab menjadi musuh, mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dikecualikan sekalipun saat ini bekal kita masih jauh dari mencukupi. Mari kita perhatikan firman Allah s.w.t. dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 67, Teman-teman akrab pada hari itu sebahagian menjadi musuh kepada sebahagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.
Saya jadi teringat kepada sebuah hadis. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Harta yang utama adalah lisan yang sentiasa berzikir, hati yang sentiasa bersyukur, dan isteri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya.” (HR Ibnu Majah & Tirmidzi, hasan).
Jadi, keputusan untuk menikah sampai kepada pernik-pernik pernikahan banyak mempengaruhi barakah atau tidaknya pernikahan. Wallahu A’lam bishawab.
Mudah-mudahan Allah mengampuni segala kesalahan kita dalam melangkah. Sejak dari niat ketika akan berangkat sampai tindakan-tindakan sesudah akad pernikahan hingga walimahnya. Astaghfirullahal ‘adzim. Laa ilaaha illaa Anta, subhanaKa innii kuntu minadz dzalimin.
TENTANG BARAKAH
Kita  telah  membicarakan  masalah  barakah.  Tetapi  apakah  yang  dimaksud dengan barakah? Kita mulai dulu pembicaraan kita dengan   orang yang membawa laknat dan orang yang membawa barakah. Kalau seorang yang suka membuat kerosakan   ada   di   tengah   kita,   semua   yang   ada   di   situ   boleh   mendapatkan keburukannya. Adapun kalau seseorang yang bertakwa hadir di tengah kita, kehadirannya mendatangkan barakah, seperti kata Al Qur’an, Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan dari bumi(QS 7: 96).
Untuk menggambarkan konsep laknat dan barakah ini, kata K.H. Jalaluddin Rakhmat, Rasulullah s.a.w. membuat perbandingan mengenai orang yang bergaul dengan orang yang jahat dan dengan orang yang soleh. Kata Rasulullah s.a.w., kalau Anda bergaul dengan orang soleh, Anda seperti bergaul dengan pedagang minyak wangi. Walaupun Anda tidak terkena percikan minyak wangi itu, Anda tetap tercium harum oleh orang-orang yang ada di sekitar Anda. Sementara itu, jika Anda bergaul dengan orang yang jahat, maka Anda seperti bergaul dengan tukang besi. Walaupun Anda tidak tercoreng arangnya, paling tidak Anda sesak nafas kaerana kepulan asapnya.
Sebuah pernikahan disebut barakah jika terjadinya akad mendatangkan kebaikan tidak hanya bagi kedua suami isteri itu. Seperti minyak wangi, orang di sekeliling pun turut merasakan barakahnya. Pernikahan mendatangkan kemanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya, sekalipun tak kelihatan secara jelas.
Adakalanya  orang  baru  merasakan  wanginya  setelah  wewangian  itu  lalu. Seperti ketika ada trak yang mengangkut durian, kita hanya mencium wanginya setelah trak berlalu beberapa meter. Adakalanya, orang merasakan kemanfaatan tetapi tidak tahu sumber wangian yang dihirupnya.
Sebaliknya, pernikahan yang justeru mendatangkan kerosakan, adakalanya baru terasa setelah lewat jauh. Kita merasakan bau yang menusuk, justeru setelah motor yang mengangkut ikan masin agak basah telah lepas beberapa ratus meter di hadapan kita.
Mohammad Fauzil Adhim
(Kado Pernikahan)

0 komentar:

Posting Komentar