Lupakanlah Cinta!
Hati itu nampaknya terlalu dalam
untuk diselami. Sepertinya segala daya dan upaya yang telah dipersiapkan
untuk misi membongkar misteri keluguan itu harus dihentikan di sini.
Terlalu ambisius mempertahankan cinta jiwa yang tak jelas muaranya. Yang
ada sekarang hanya rasa ingin tahu yang harus dikubur oleh realitas
ketidakpastian. Semua tiba-tiba sirna, atau kalaupun masih ada, anggap
saja itu sudah sirna. Itu resiko, resiko cinta jiwa. Karena jiwa tak
selalu bertemu dengan jiwa. Kadang ia harus berbenturan dengan kenyataan
hidup yang dalam subjektivitas pecinta itu begitu tidak adil dan
menyakitkan. Kadang dia juga sengaja dipertemukan dengan bentuk lain,
akhirnya cinta tidak dapat menyatu.
Cinta sudah
membara, obsesi sudah menggelora, tapi takdir tidak mampir di sini. Ia
terlalu sombong. Realitas ini begitu sadis, bahkan gairah kehidupan
seperti dikungkung oleh kekejaman takdir. Tidak ada lagi senyum
terlempar, kini diri ini seperti perahu tanpa layar. Termangu di tengah
laut lepas. Tidak tahu arah, kalaupun tahu, tidak tahu bagaimana
mengikuti arah itu. Serat-serat jiwa kembali mengerut, seluruh
katup-katup hati tertutup. Cinta selalu berakhir dengan derita, kata
Jenderal Tien Feng.
Itulah yang dirasa, kalau kita terlalu
serius memaknai cinta jiwa. Karena cinta jiwa terlalu instan, tidak
dibangun dengan fondasi yang kokoh. Karena kadang cinta jiwa hanya
dibangun di atas obsesi kebanggaan, atau mungkin penetrasi kegelisahan.
Sebab itu Anis Matta mengajak kita melupakan cinta jiwa yang tidak
berujung di pelaminan. Itu terlalu menyakitkan. Karena hanya di
pelaminan lah, cinta jiwa dan realitas kehidupan dengan mesra
diparadekan. Pelaminan adalah panggung di mana gejolak bisa dilampiaskan
ke dalam bentuk tindakan. Karena cinta jiwa harus diikuti oleh sentuhan
fisik.
Kita harus jujur menilai keadaan. Cinta
memang terlalu sulit didefinisikan, oleh karena itu ia kadang hanya
berujung pada gerak bibir “aku mencintaimu”. Tapi cinta bukan soal kata,
ini lebih kepada sebuah gelora. Cinta seharusnya bisa mengantarkan kita
pada produktifitas, karena itu, kalau cinta justru membuat kita menjadi
tidak produktif, lupakanlah. Cinta selayaknya mendekatkan kita dengan
Sang Pencipta, karena itu, kalau cinta justru membuat kita lupa,
lupakanlah. Dan cinta seharusnya berakhir pada eksekusi memberi, memberi
apapun demi menjaga kesinambungan cinta. Karena cinta jiwa yang
sesungguhnya harus terus kita jaga.
Cinta memang seharusnya konstruktif dan
sederhana. Ia tidak butuh sentuhan majas hiperbola, apalagi
personifikasi, seolah cinta begitu menghanyutkan. “Kalau jatuh cinta itu
buta, berdua kita akan tersesat,” kata Efek Rumah Kaca dalam salah satu
lirik lagunya.
Masa muda, masa penuh dengan gejolak
produktivitas. Tapi cinta kadang membuat kita fokus pada syair-syair,
pujian-pujian, gombalan-gombalan, yang membuat kita lupa bahwa kita
punya tugas sejarah dan punya beban masa depan. Masa muda, masa
pelejitan potensi. Tapi cinta kadang membuat kita terkungkung dalam
dunia merah muda yang begitu kelam yang membuat potensi kejayaan makin
terpendam.
Cinta Jiwa yang tidak konstruktif, musnahkanlah.Cinta Jiwa yang tidak berujung di pelaminan, lupakanlah
0 komentar:
Posting Komentar