Rabu, 04 April 2012

Dan Ternyata, Rindu

Dan Ternyata, Rindu…

“Satu kejujuranku, kuingin jadi cicak di dindingmu. Cicak di dindingmu…”
Sepenggal lirik lagu Dewi Lestari yang berjudul ‘Cicak di dinding’ di atas seolah mewakili perasaan ini. Perasaan rindu yang harus dibayar dengan harga yang pantas. Perasaan rindu yang mungkin hanya bisa dilukiskan oleh kuas paling ajaib yang ada di bumi ini. Perasaan yang seolah tak punya akhir. Terus menderu. Terus menyayat. Terus menjerit.
Pasti ada titik temu yang bisa menjelaskan semua ini. Titik yang menjelaskan di koordinat mana di atas bumi ini ia duduk di bangku taman, menantikan kedatangan seorang pangeran yang telah menjanjikan kedamaian dalam kehidupannya. Dan di sekeliling taman itu, mekar bertangkai-tangkai mawar kuning yang tumbuh dengan semangat ‘Amour Platonique’. Semangat Ghibran, semangat para pecinta platonik. Kehadiranku ke sana, pasti, untuk mengubur dalam-dalam keplatonikan cinta itu. Karena itu adalah simbol ketidaksempurnaan.
Sampai pada garis hidupku yang sekarang, rindu adalah kata paling indah yang pernah ada. Dan merindu, adalah aktivitas paling sederhana yang sarat akan makna. Kau tidak butuh uang untuk merindu, tidak juga berlian. Kau hanya butuh oksigen, agar api rindu bisa terus teroksigeni, dan hidup.
Dan ternyata, rindu, hanyalah kata lain dari benang cinta yang dipintal tetapi tidak bisa dirajut.

0 komentar:

Posting Komentar