Dan Ternyata, Rindu…
“Satu kejujuranku, kuingin jadi cicak di dindingmu. Cicak di dindingmu…”
Sepenggal lirik lagu Dewi Lestari yang
berjudul ‘Cicak di dinding’ di atas seolah mewakili perasaan ini.
Perasaan rindu yang harus dibayar dengan harga yang pantas. Perasaan
rindu yang mungkin hanya bisa dilukiskan oleh kuas paling ajaib yang ada
di bumi ini. Perasaan yang seolah tak punya akhir. Terus menderu. Terus
menyayat. Terus menjerit.
Pasti ada
titik temu yang bisa menjelaskan semua ini. Titik yang menjelaskan di
koordinat mana di atas bumi ini ia duduk di bangku taman, menantikan
kedatangan seorang pangeran yang telah menjanjikan kedamaian dalam
kehidupannya. Dan di sekeliling taman itu, mekar bertangkai-tangkai
mawar kuning yang tumbuh dengan semangat ‘Amour Platonique’. Semangat
Ghibran, semangat para pecinta platonik. Kehadiranku ke sana, pasti,
untuk mengubur dalam-dalam keplatonikan cinta itu. Karena itu adalah
simbol ketidaksempurnaan.
Sampai pada garis hidupku yang sekarang,
rindu adalah kata paling indah yang pernah ada. Dan merindu, adalah
aktivitas paling sederhana yang sarat akan makna. Kau tidak butuh uang
untuk merindu, tidak juga berlian. Kau hanya butuh oksigen, agar api
rindu bisa terus teroksigeni, dan hidup.
Dan ternyata, rindu, hanyalah kata lain dari benang cinta yang dipintal tetapi tidak bisa dirajut.
0 komentar:
Posting Komentar