Kamis, 05 April 2012

Bab 8 – “Awalnya Dari Niat”

Bab 8 – “Awalnya Dari Niat”

Awalnya dari niat. Kelak Allah akan menilainya dan memberikan barakah sesuai dengan niatmu. Kalau niatmu menikah kerana ingin menjawab pertanyaan Rasulullah tentang apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting isteri,  insyaAllah engkau akan  mendapati anak-anak  yang  memberi bekas  kepada bumi  dengan kalimat laa  ilaha  illaLlah. Jika engkau tidak benar-benar tahu bagaimana mendidik anakmu, Allah yang akan mendidiknya. Allah yang akan memberikan ilmu melalui kekuasaanNya. Banyak cara Allah mempertingkatkan hamba-hambaNya. Banyak cara Allah menjadikan seorang hamba terangkat tinggi karena niatnya melalui anak-anak yang mereka lahirkan. Padahal mata kita yang penuh teori, sering memandang proses perkembangan anak-anak itu sebagai kesalahan.
Sungguh, sangat sedikit ilmu yang dimiliki manusia.
Awalnya dari niat. Maka, atas dasar apakah engkau menikahi isterimu? Jika gadis yang engkau pinang itu cantik, apakah engkau menikahinya karena mengharap keindahan dan wajah yang mengesankan? Ataukah, kerana khawatir kecantikannya dapat membuatmu terjerumus kepada maksiat, lalu engkau berusaha dengan sungguh- sungguh untuk segera menikahinya demi menjaga kehormatan farjimu berdua.
Berbeza sekali antara keduanya. Yang pertama dapat mendatangkan kekecewaan setelah menikah. Pernikahan sangat sedikit barakahnya. Sedang yang kedua, insyaAllah akan dipenuhi barakah dari Allah yang terus melimpah.
Ketika engkau melihat calon isterimu memiliki ilmu agama yang bagus, atas dasar apakah engkau memilihnya? Ketika engkau melihat calon isterimu serba cukup, atas kekurangan, atas dasar apakah engkau memintanya daripada kedua orangtuanya.
Awalnya adalah niat. Maka aku bertanya kepadamu wahai isteriku, apakah yang menggerakkan hatimu untuk mempercayakan kesetiaanmu padaku? Aku bertanya kepadamu kerana niat akan menentukan apa yang akan engkau dapatkan kelak setelah kita menikah, dan kelak setelah kita tiada. Ketika kita sama-sama menjadi jenazah.
Niatmu akan mempengaruhi bagaimana engkau merasakan erti saat-saat berdekatan, keindahan saat bersama, keadaan hati saat menghadapi masalah, sampai bagaimana engkau merasakan erti setitik darah ketika melahirkan, juga ketika harus bangun saat anakmu terbangun dari tidurnya.
Semua bermula dari niat. Niat ketika menerima pinangan, niat ketika memasuki jenjang pernikahan, niat ketika menghabiskan saat-saat berdua, niat ketika berhias, niat ketika memuji suami, dan niat ketika akan melakukan berbagai hal. Niat-niat itu dapat menambah barakah dan memperbaiki kesalahan niat sebelumnya, dapat mengurangi barakah dari apa yang sebelumnya telah engkau terima atau engkau berikan kepada suami.
Bermula dengan niat.
Aku mendengar, kata Umar bin Khaththab r.a., Rasulullah s.a.w bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu (dinilai) hanya berdasarkan niatnya (innamal a’malu binniyyati) –di dalam riwayat lain: berdasarkan niat-niatnya– dan sesungguhnya setiap orang hanya memperolehi apa yang ia niatkan; barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada Allah dan RasulNya maka (nilai) hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang ingin diraihnya atau perempuan yang ingin dinikahinya maka (nilai) hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan An-Nasa’i, sahih).
Innamal a’malu binniyati, kata Rasulullah s.a.w. dalam hadis tersebut. Mungkin kita semua sudah pernah mendengar hadis ini. Barangkali malah sudah sangat sering mendengarnya. Kadang malah menjadi alasan bagi sebahagian orang untuk memaafkan diri sendiri  ketika  melakukan  kesalahan.  Dalilnya,  bukankah  setiap  perbuatan dinilai berdasarkan niatnya? Aku ingatkan kepada diriku sendiri, bukan demikian itu yang disebut niat. Bukan. Niat yang sesungguhnya melandasi perbuatan, bukanlah apa yang dengan mudah engkau ucapkan lalu engkau hapus di saat lain yang engkau kehendaki. Kalau seorang gadis memintamu untuk memboncengnya sedangkan engkau  sudah  lama  sekali  menginginkan, maka  tidak  boleh  engkau  menyertainya dengan niat menolong sebagai sesama muslim meskipun niat itu engkau ucapkan berulang-ulang. Bukankah hatimu sendiri sudah gelisah dan tidak tenang?
Aku ingatkan kepada diriku sendiri dan orang-orang yang aku cintai, mintalah kepada Allah penjagaan niat dari kotoran-kotoran yang tidak engkau ketahui dan kebusukan yang tidak mampu engkau hilangkan sendiri saat ini. Semoga Allah mengampunimu dan memperbaiki niat kita.
Dengarkanlah keterangan Imam Al-Ghazali rahimahuLlah. Beliau mengatakan, barangkali ada orang bodoh mendengar perkataan kami tentang niat. Lalu ia berkata, “Aku berdagang kerana Allah”, atau “Aku makan kerana Allah”. Jauh, amatlah jauh. Hal itu hanya perkataan diri dan perpindahan dari satu fikiran ke fikiran yang lain. Niat jauh dari yang demikian. Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungannya pada apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera mahupun ditangguhkan.
Pelacur itu kemudian datang
meminta untuk dinikahi demi membersihkan diri.
Dari pernikahan itu lahir tujuh orang anak yang shaleh. Begitu cerita Zadan dari Ibnu Mas’ud
dari Salman Al-Farisi.
Selama kecenderungan itu tidak ada di dalam batin, kata Imam Al-Ghazali melanjutkan, tidak mungkin diusahakan, diciptakan dengan usaha, dan dipaksakan. Melainkan hal itu, hasilnya kembali kepada perpindahan pemikiran dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Seperti seorang yang kenyang berkata, “Aku telah berniat untuk lapar,” atau “Aku berniat untuk makan disebabkan lapar,” Atau orang yang gelisah berkata, “Aku telah berniat untuk mencintai seseorang,” atau “Aku telah berniat memuliakan seseorang.” Hal ini tidak muncul di dalam batinnya, dan itu mustahil. Selama tidak muncul motif hal itu, maka tidak akan ada kebangkitan jiwa, karena kebangkitan jiwa merupakan tanggapan (respons) terhadap motif dan tujuan yang muncul. Contohnya adalah menikah, kata Imam Al-Ghazali. Orang yang dikuasai syahwat dan ingin menikah, kemudian hendak memaksakan diri berniat mengikuti Rasulullah s.a.w. dan sunnahnya, serta berniat mendapatkan anak yang soleh. Hal itu tidak mungkin terjadi kerana tidak muncul motif-motif ini dari batinnya. Melainkan di dalam batinnya hanya ada syahwat semata-mata. Demikian penjelasan Imam Al-Ghazali dalam buku Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin.
Wallahu A’lam bishawab.
Awalnya dari niat. Nikah juga diawali dengan niat. Niat yang baik dan jernih akan mendekatkan kepada barakah. Semakin baik niat kita, insyaAllah semakin barakah rumah tangga kita, sekalipun kita tidak dapat menunaikan seluruh perkara yang kita niatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan kalau kita tidak dapat mengamalkan apa yang sudah kita niatkan dengan sungguh-sungguh, maka bagi kita apa yang kita niatkan. Allah menyempurnakan apa yang kita niatkan, sekalipun kita tidak dapat melaksanakan.
Tetapi berbeza sekali antara niat yang sungguh-sungguh kuat dengan mengada-adakan niat. Semoga Allah menyelamatkan kita dari ghurur (tertipu). Kita menyangka kita mempunyai niat, padahal hanya angan-angan yang kemudian kita jelaskan dengan akal.
Adapun jika engkau telah berniat dengan niat yang baik, maka berbahagialah, sebab Rasulullah s.a.w. bersabda, “Niat orang mukmin lebih baik daripada perbuatannya. Sementara niat orang fasik lebih jelek daripada perbuatannya.”
Maka marilah kita meniatkan satu kebaikan di dalam pernikahan. Niat mendidik anak dengan sebaik-baik pendidikan. Niat menetapkan satu sunnah hasanah dalam keluarga. Niat untuk melaksanakan perbuatan yang mendatangkan barakah bagi kita beserta isteri (suami) kita. Niat untuk memuliakan isteri dengan perkataan yang lembut, bukan kasar dan menyakitkan. Serta niat lain.
Satu niat saja yang sungguh-sungguh ingin kita kerjakan, insyaAllah menjadi pintu barakah, kebaikan berlipat-lipat yang terus berkembang. Hanya Allah yang berhak menentukan kebaikan apa yang dikurniakan kepada kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik Pemberi Kebaikan. Maha Suci Allah dari segala keburukan yang diangan-angankan oleh akal yang keruh.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. –dalam apa yang diriwayatkan dari Rabbnya–  bersabda,  “Sesungguhnya  Allah  menulis  kebaikan-kebaikan  dan keburukan-keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut (di dalam kitab-Nya); barangsiapa berniat  melakukan kebaikan  tetapi  dia  tidak  mengerjakannya maka Allah menulisnya di sisiNya satu kebaikan yang utuh, jika dia meniatkannya kemudian dia melakukannya maka Allah menulisnya di sisiNya sepuluh kebaikan sampai   tujuh   ratus   sampai   berlipat-lipat   ganda.   Dan   barangsiapa   berniat (melakukan) keburukan tetapi dia tidak mengerjakannya maka Allah menulisnya di sisiNya satu kebaikan yang utuh, dan jika dia meniatkannya kemudian dia mengerjakannya maka Allah menulisnya satu keburukan”.
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas menambahkan, “Atau Allah menghapuskannya dan tidaklah berniat jahat kepada Allah kecuali orang yang binasa.” (HR Bukhari & Muslim, sahih).
Akan tetapi,
“Barangsiapa tidur dan dalam hatinya ada niat untuk mengkhianati (menipu) orang Islam, ia tidur dalam kemurkaan Allah. Ia memasuki waktu subuh juga dalam kemurkaan Allah kecuali bila ia mati atau bertaubat. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka ia mati bukan dalam agama Islam. Ketahuilah siapa yang mengkhianati kami, ia bukan golongan kami (Nabi s.a.w. menyebutkan hal ini sebanyak tiga kali).
Nah, sekarang ketika akan menikah, apa niat Anda?
NIAT KETIKA MENIKAH
Sebahagian   pernikahan   menjadi   penuh   barakah   kerana   niat   awal   ketika memutuskan untuk menikah. Al-Idris Asy-Syafi’i menikah semata kerana ingin mendapatkan redha dari pemilik pohon delima atas apa yang ia makan. Ia bersedia menikah asal delima yang sudah dimakannya diikhlaskan dan pemiliknya redha. Maka ia menikah dengan Fathimah, puteri pemilik pohon delima itu. Dari rahim isterinya, lahir Muhammad bin Idris yang kemudian dikenali sebagai Imam Syafi’i karena keutamaan ilmu  dan  akhlaknya.  Pernikahan  Al-Idris  melahirkan  anak  yang  sangat  penuh barakah. Sampai sekarang kita masih mengambil ilmu dari apa yang diwariskan oleh Imam Syafi’i, buah pernikahan Al-Idris dan Fathimah yang diredhai.
Ada  contoh  lain  pernikahan  kerana  menjaga  diri  dari  hal  yang  meragukan, semata-mata demi mencapai keselamatan akhirat. Imam Bukhari dalam hadis sahihnya pernah meriwayatkan sebuah cerita dari Rasulullah s.a.w.
“Seorang laki-laki,” kata Rasulullah s.a.w., “membeli sebidang tanah dan menemui sebuah tempayan berisi emas dalam tanah itu. Katanya kepada si penjual, ’Ambillah emasmu, kerana hanya tanah yang saya beli dari engkau dan saya tidak membeli emas’. Kata tuan tanah, ‘Tanah itu beserta isinya telah saya jual kepada engkau’. Keduanya lalu meminta pandangan kepada seseorang. Kata orang itu, ’Adakah kamu berdua mempunyai anak?’ Seorang di antara mereka berkata, ‘Ya, saya mempunyai seorang anak lelaki’. Kata yang seorang lagi, ‘Ya, saya mempunyai seorang anak perempuan’. Kata hakim tadi, ‘Kahwinkanlah anak perempuan itu dengan anak  lelaki  ini  dan  belanjalah  dengan  keduanya  dari  harta  itu  dan bersedekahlah’.” (HR Bukhari dalam sahihnya, hadis No. 1513).
Suatu ketika seorang pemuda ahli ‘ibadah mendatangi pelacur kerana desakan keinginan yang kuat. Setelah berada dalam kamar berdua-duaan dengan pelacur itu, ia merasakan ketakutan yang amat sangat memikirkan pengawasan Allah yang tak pernah hilang serta kedudukannya di hadapan Allah. Maka ia berpeluh dan pucat kerana ketakutannya. Ia meninggalkan tempat pelacuran itu dan tidak mengambil wangnya kembali, meskipun pelacur itu berusaha menahannya.
Setelah pemuda itu pergi, pelacur itu merenung. Seharusnya dialah yang lebih takut kepada Allah memikirkan perbuatan-perbuatannya. Maka ia berniat bertaubat dan mencari pemuda itu agar dinikahi. Tetapi ketika sampai, ia dapati pemuda itu terus meninggal  kerana rasa takutnya saat melihat kedatangan pelacur itu.
Maka ia bertanya, “Adakah ‘Abid (ahli ‘ibadah) ini mempunyai saudara lelaki yang belum menikah?”
Orang-orang menunjukkan saudaranya yang juga seorang ahli ‘ibadah, tetapi sangat miskin. Ia kemudian datang  meminta untuk dinikahi demi membersihkan diri. Dari pernikahan itu lahir tujuh orang anak yang soleh. Begitu cerita Zadan dari Ibnu Mas’ud dari Salman Al-Farisi.
Niat banyak mempengaruhi barakah atau tidaknya pernikahan. Sebahagian dari niat menikah, dijamin akan penuh dengan barakah selama-lamanya. Isteri barakah bagi suami, suami barakah bagi isteri.
Allah  ‘Azza  wa  Jalla  insyaAllah juga  memberi barakah yang  sangat  besar kepada  seorang  wanita  yang  menyerahkan diri  kepada  lelaki  yang  ia  mantap dengan akhlak dan agamanya, semata kerana mengharapkan redhaNya atau kerana ingin menjaga diri dari dosa. Apatah lagi jika lelaki itu seorang yang masih bujang.
Rasulullah     s.a.w.     menjanjikan,     “Kahwinkanlah  orang-orang  yang  masih bujang di antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rezeki mereka, dan menambah keluhuran mereka.”
Sebahagian orang menikah kerana takut mati dalam keadaan membujang. Ini yang pernah terjadi pada Mu’adz bin Jabal r.a., salah seorang sahabat utama Rasulullah s.a.w. Ketika dua orang isterinya meninggal dunia pada waktu merebaknya wabak pes, sedangkan ia sendiri mulai berjangkit, maka ia berkata, “Kahwinkanlah aku. Aku khawatir akan meninggal dunia dan menghadap Allah dalam keadaan tak beristeri.”
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Seandainya tinggal sepuluh hari saja dari usiaku, nescaya aku tetap ingin kahwin. Agar aku tak menghadap Allah dalam keadaan masih bujang.”
Ada lagi niat-niat menikah yang insyaAllah dimuliakan dan baginya barakah yang melimpah sampai yaumil-qiyamah. Anda boleh membaca berbagai sumber atau bertanya kepada orang yang mempunyai hikmah. Atau, Anda boleh bertanya kepada hati nurani Anda sendiri.
Niat Ketika Memilih Pendamping
Ada pernikahan yang tidak akan pernah diberi barakah karena niat orang tua ketika memilih suami bagi anak gadisnya yang salah. Rasulullah s.a.w. mengingatkan, “Barangsiapa yang menikahkan (puterinya) kerana terpesona akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu akan dibarakahiNya.”
Pernikahan yang demikian ini kering dan hampa, kecuali jika isteri bersedia untuk bermujahadah (berjuang) untuk membawa suami kepada kelurusan agama. Ia “berzuhud” terhadap harta dan kedudukan suami. Tetapi ia menunjukkan kelembutan saat  mengajak  suami  kepada  kejernihan  hati.  Ia  bisa  tegas  di  saat  lain  dalam menyikapi apa yang kurang tepat, tetapi tidak menunjukkan sikap keras dan perkataan yang menyakitkan. Ia berzuhud dari kebaikan suami dalam perkara dunia kerana menjaga agar tidak lemah dan dilemahkan secara fizikal mahupun psikologi. Al-ihsanu yu’jizul insan. Sesungguhnya kebaikan itu melemahkan (mematikan) manusia. Masalahnya, adakah wanita yang seperti itu sedangkan orang tua menikahkan kerana terpesona terhadap kekayaan seorang lelaki? Tidak mudah bersikap seperti itu. Apatah lagi, kalau semenjak awal tidak disedari.
Wallahu A’lam bishawab.
Dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda, “Siapa yang menikahi seorang wanita kerana kedudukannya, Allah hanya akan menambah kehinaan kepadanya; siapa yang menikahinya kerana kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan; siapa yang menikahi wanita kerana baik nasabnya, Allah akan menambah kerendahan padanya. Namun, siapa yang menikah kerana ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau kerana ingin mempererat kasih sayang, Allah akan sentiasa membarakahi dan menambah kebarakahan itu kepadanya.” (HR Ath-Thabrani).
Dari ‘Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah s.a.w bersabda, “Janganlah kamu menikahi seorang wanita kerana kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatnya hina. Janganlah kamu menikahi seorang wanita kerana hartanya, mungkin saja harta itu membuatnya melampaui batas. Akan tetapi nikahilah seorang wanita kerana agamanya. Sebab, seorang wanita yang solehah, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama.” (HR Ibnu Majah).
Ada hadis yang sangat popular tentang menentukan kriteria wanita yang akan dinikahi.  Dari  Abu  Hurairah  r.a.,  Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  ”Biasanya  wanita dikahwini kerana empat (hal): kerana hartanya, kerana kebangsawanannya, kerana kecantikan, dan kerana agamanya (akhlaknya). Maka pilihlah yang beragama (berakhlak) semoga beruntung usahamu.” (HR Bukhari & Muslim, sahih).
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi yang mengkompilasi hadis-hadis sahih yang disepakati Bukhari dan Muslim dalam Al-Lu’lu’ wal Marjan mengatakan, “Erti taribat yadaaka (engkau akan rugi dan miskin jika Anda tidak mengikuti tuntunan ini), yakni jika  Anda  kahwin  dengan  wanita  yang  tidak  beragama  (berakhlak)  nescaya  akan menjadi fakir miskinlah Anda, yakni tidak akan bahagia dalam hidup.”
Sebagaimana seorang lelaki yang akan meminang, seorang wanita yang berkeinginan untuk menyerahkan diri kepada lelaki untuk dinikahi juga perlu memperhatikan niatnya memilih lelaki itu. Menawarkan diri karena terkesan oleh kekayaan dan ketampanan, hanya akan melahirkan penderitaan psikologi yang berpanjangan kelak setelah madunya tak manis lagi.
Kalau Anda menikah, Anda boleh meminang wanita yang masih gadis. Boleh juga seorang janda. InsyaAllah pernikahan Anda akan barakah jika Anda memilih isteri yang masih gadis atas pertimbangan sunnah Rasulullah s.a.w. atau apa yang dimaksudkan  dalam  sunnah  itu,  yakni  Anda  boleh  bercanda,  bercumbu,  saling menggigit dan tertawa bersama. Anda memilih yang masih gadis kerana hatinya belum pernah terpaut pada orang lain, sehingga kasih -sayangnya lebih penuh.
Pertimbangan-pertimbangan seperti ini boleh Anda lihat dalam berbagai-bagai hadis. Di antaranya hadis-hadis sahih   yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mahupun Imam Muslim.
Masih berkenaan dengan gadis, mungkin Anda memilih yang masih muda kerana cintanya lebih hangat, kasih sayangnya lebih tulus dan lebih sedikit tipuannya, disamping lebih rela terhadap belanja yang sedikit. Mungkin juga Anda memilih gadis  yang  sudah  meningkat  tua  usianya  untuk  menolongnya  dan  menyelamatkan kehormatan agama. Yang demikian ini insyaAllah justeru besar barakahnya.
Pernikahan yang penuh barakah insyaAllah juga Anda dapatkan ketika memilih untuk menikah dengan seorang janda kerana mengharapkan dia dapat merawat, mendidik, dan mengasihi anak-anak dan saudara-saudara Anda yang masih memerlukan penjagaan dan kasih sayang. Rasulullah s.a.w. pernah mendo’akan Jabir bin ‘Abdullah ketika menikahi seorang janda dengan harapan dapat merawat adik-adik perempuannya yang   masih   kecil,   setelah   ayahnya   meninggal.   Ketika   itu   Rasulullah   s.a.w. mendo’akan,  “Barakallah (semoga Allah membarakahi).” atau “Khaira (baik saja).” (HR Bukhari & Muslim dalam Al-Lu’lu’ wal Marjan, hadis No. 930).
Masih ada lagi. Jika Anda memiliki pembantu, insyaAllah Anda akan mendapati pernikahan yang sangat penuh barakah dengan menikahi pembantu Anda setelah memberikan pendidikan sehingga dia matang, bersedia untuk menjadi isteri dan ibu.
Abu Musa r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Siapa yang memiliki jariyah (hamba wanita, pembantu), lalu dipelihara dengan baik, kemudian dimerdekakan dan dikahwini, maka ia mendapat pahala dua kali ganda.” (HR Bukhari & Muslim, sahih).
Wallahu A’lam bishawab.
Niat dalam Urusan Pernikahan
Masalah niat tidak terhenti sampai saat memilih pendamping. Sesudah pinangan datang dan kata sepakat dari dua keluarga sudah tercapai bahawa mereka akan mengikat tali kekeluargaan melalui anak masing-masing, niat masih terus menyertai  dalam  berbagai -bagai urusan  yang  berkenaan  dengan  terjadinya  pernikahan. Bermula dari memberi mahar, menyebarkan jemputan walimah, penyelenggaraan walimah sampai dengan waktu yang dihabiskan untuk menyelenggarakan walimah. Walimah lebih dari dua hari dekat kepada madharat. Walimah hari ketiga termasuk riya’.
Proses pernikahan dapat mempengaruhi niat. Proses pernikahan yang sederhana dan  mudah,  insyaAllah  akan  mendekatkan  orang  kepada  bersihnya  niat. Memudahkan proses pernikahan dapat menjernihkan niat yang sebelumnya masih keruh. Sedang mempersukar dapat merosak niat yang sebelumnya sudah cukup bersih.
Saya kira Anda dapat memikirkan lebih jauh berkenaan masalah itu. Mudah-mudahan Allah Ta’ala meluruskan niat kita dalam menempuh urusan pernikahan seluruhnya. Mudah- mudahan Allah memperbaiki hati kita dan mengampuni kesalahan-kesalahan hati kita dalam menempuh pernikahan, khususnya bagi yang telah menikah. Mudah- mudahan Allah memaafkan apa yang belum bersih dan menggantikannya dengan keikhlasan dan sakinah.
MASIH ADA NIAT SESUDAH AKAD NIKAH
Sesudah  akad  nikah,  ada  kesempatan  untuk  memeriksa  kembali  niat  ketika hendak melangkah ke pelaminan. Bahtera rumah tangga mulai mengharungi lautnya. Sebelum berlayar jauh, kita boleh beristighfar bersama-sama atau apa pun yang baik untuk kejernihan hati. Saya perlu menggarisbawahi tambahan kata-kata “atau apa pun yang baik” karena perkara ini tidak termasuk perkara yang wajib, sehingga saya khawatir jika ini dianggap wajib. Istighfar atau apa pun kalimat-kalimat thayyibah itu tidak wajib, hanya bersifat sebagai ikhtiar untuk mencapai kemaslahatan. Jika dianggap wajib, saya khawatir justeru saya berdosa kerananya.
‘Alaa kulli hal, masih ada niat sesudah akad nikah. Niat yang baik setelah mengarungi bahtera rumah tangga, insyaAllah dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan niat sebelumnya. Mudah-mudahan Allah menjadikan rumah tangga kita penuh barakah.
Masih ada niat sesudah hidup bersama. Niat ketika berhias mahupun niat ketika berhubungan intim. Niat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu contohnya. Beliau pernah berkata, “Sungguh aku memaksakan diri bersetubuh dengan harapan Allah akan mengurniakan kepadaku makhluk yang akan bertasbih dan mengingatNya.”
Perbahasan  lebih  lanjut  mengenai  berbagai  hal  yang  berkenaan  dengan hubungan intim suami isteri insyaAllah akan kita bicarakan pada bab Keindahan Suami Istri di jendela kedua buku kita ini.
Hujan Itu Mensucikan Bumi
Adakalanya niat kita ketika hendak menikah masih belum bersih, kemudian Allah memberikan kasih sayangNya. Allah memberikan berbagai-bagai keadaan sehingga kita mensucikan niat kita. Allah menurunkan peristiwa-peristiwa sehingga kita mengetahui kekotoran niat kita yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan kita sendiri.
Adakalanya niat seseorang sudah bersih, kemudian Allah menguji kesungguhan niatnya. Allah memberikan ujian, sehingga jelas apakah ia bersungguh-sungguh dengan niatnya. Sehingga jelas apakah ia tetap berpegang pada taliNya di saat menghadapi kesulitan. Sehingga semakin kokoh niatnya kalau ia tetap memegang niatnya. Yang demikian ini insyaAllah akan membuat niatnya lebih dekat kepada barakah dan tidak mudah luntur oleh keadaan sesudah menikah.
“Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Q.S. Ali ‘Imran: 154).
Sebahagian orang redha terhadap apa yang terjadi, sehingga Allah menambah kemuliaan dan barakahnya. Sebahagian merasa kecewa kepada Allah. Sebahagian lagi merasa kecewa, kemudian memperbaiki hati setelah menyedari kesalahan-kesalahannya.
Adakalanya Allah mensucikan bumi dengan menurunkan hujan. Dalam hujan ada kilat dan petir. Sebelum hujan ada mendung tebal yang membuat gerah orang-orang di muka bumi. Sayangnya, seringkali kita salah sangka. Kita sering tidak dapat membezakan antara panasnya terik matahari dengan gerahnya awan tebal yang mengawali hujan penuh rahmat.
Pensucian niat boleh juga terjadi kerana bertambahnya ilmu. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih baik mengenai agamanya, akhirnya ia mengenali kekeruhan-kekeruhan niat yang selama ini tidak diketahuinya. Oleh karena itu, suami- isteri tetap perlu mencari ilmu setelah berumah tangga. Mudah-mudahan mereka dapat menjadi suami-isteri yang penuh barakah. Mudah-mudahan mereka dapat menjadi orangtua yang penuh barakah, melahirkan keturunan yang memberi bekas kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah melalui pernikahan mereka. Allahumma amin.
Wallahu A’lam bishawab.
Mudah-mudahan Allah memperbaiki niat kita. Mudah-mudahan Allah melepaskan kita dari ghurur (tertipu) atas perkara-perkara yang kita sangka niat kita, padahal hanya angan-angan yang kita jelaskan dengan akal saja.
Mohammad Fauzil Adhim
(Kado Pernikahan)

0 komentar:

Posting Komentar