Logika Tuhan
Kamu mencoba mengingat-ingat nasihat
itu. Satu-satunya warisan non-materi ayahmu sebelum dia wafat. Kamu
sepertinya lupa, fatal sekali. Padahal kamu tahu, itu ucapan terakhir
ayahmu. Harusnya ia bisa menjadi bekal bagimu menjalani kehidupan—yang
kata ayahmu akan semakin berat. Tapi kamu kini lupa.
Waktu memang terasa begitu cepat bagi
mereka yang takut. Begitu lama bagi mereka yang menunggu. Kamu kini ada
di persimpangan itu. Titik di mana kamu menjadi manusia lemah ‘tak
berdaya. Titik temu antara penantian dan ketakutan. Ya, kamu sedang
takut dan menunggu. Dan masih belum ingat ucapan terakhir ayahmu.
“Suster, suster, anak saya sadar.. Ya Allah. Suster, suster, anak saya sadar.”
Samar-samar kamu menatap ke atas. Sambil
membuka kelopak mata yang entah berapa lama sudah ‘tak terbuka,
pelan-pelan. Kamu masih kenal betul suara itu. Suara ibumu. Tapi kamu
masih belum sadar, sedang di mana, apa, mengapa.
26 Maret 2011, sepuluh bulan yang lalu
kamu masih baik-baik saja. Sangat baik bahkan. Berkecukupan, tubuhmu
sehat dan bugar. Di sana, di ruang keluarga itu, setelah merayakan ulang
tahunmu, Ayah dan Ibumu sedang asyik membicarakan pernikahanmu. “Kamu
sudah 27 tahun, harus segera, nanti jadi perjaka tua. Apalagi yang
kautunggu?”, mereka selalu bilang begitu. Padahal kamu belum mau.
Dalam pikirmu itu selalu berkecamuk
sebuah pertanyaan: “mengapa jodoh harus Tuhan yang menentukan, toh kita
sendiri, manusia, yang menjalani”. Kamu selalu meragukan apa-apa yang
ditentukan oleh Tuhan. Kamu jadi takut dengan apa-apa yang berkaitan
dengan ketentuan Tuhan, sehingga ketika kamu akan dijodohkan, kamu
takut—kalau-kalau itu jodoh yang disiapkan Tuhan, tapi tidak sesuai
dengan maumu. Kamu takut tidak bisa mengelak, karena Tuhan maha
berkehendak.
Kamu terus bermain-main dengan logikamu.
“Wira, ayo berangkat, kita udah telat nih.”
Kamu, bersama ayahmu memasuki mobil
Mercedez Benz SLS AMG yang konon Mercy termahal saat itu. Dengan pakaian
super rapi, dan rambut disisir sedemikian rupa menjadi super klimis,
ayahmu terus mengajak kamu mengobrol. Selama perjalanan, dia terus
membicarakan tentang masa depanmu, khususnya masalah pernikahan. Kamu,
belum tahu ayahmu mengajakmu ke mana.
Kesekian kalinya kamu bertanya, akhirnya
ayahmu bicara. Kamu akan dikenalkan dengan anak teman bisnis ayahmu.
Kamu marah. Kamu berdua masuk ke dalam perdebatan panjang tentang
kehidupan, dan jodoh.
“Aku tidak percaya dengan jodoh yang ditentukan Tuhan. Yang akan menjalani hidup ini aku, bukan Tuhan.”
“Ayo lah. Kalau begini terus, hidupmu akan makin berat. Kamu percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan?”
“Jelas. Siapa lagi?”
Sekarang kamu ingat. Saat itu, kamu
menabrak sebuah bak truk karena berdebat saat menyetir. Kamu ingat,
sebelum akhirnya kamu ‘tak sadarkan diri, kamu sempat melihat ayahmu.
Dia meninggalkan dunia lebih cepat.
Dengan pandangan yang masih agak samar,
matamu berusaha menangkap bayangan sebuah kalender yang menggantung di
dinding kamar itu: 2 Februari 2012. Kamu sadar, sudah sepuluh bulan kamu
‘tak sadarkan diri, alias koma. Kamu ingin meraba wajah ibumu yang
sedari tadi masih mengucap-ucap nama Tuhan. Kamu tidak tahu harus meraba
dengan apa, tanganmu tidak ada. Dua-duanya. Kau rasa-rasa, kakimu juga
tiada. Kamu kini cacat.
Kamu ingin menangis, tapi untuk apa?
Kamu ingin menyesal kenapa kamu harus sadarkan diri, tapi untuk apa?
Akhirnya kamu bernafas lega. Mencoba tersenyum sesantai mungkin.
Kamu kini ingat pernyataan terakhir ayahmu: “Karena dunia ini ciptaan Tuhan, maka yang berlaku di sini adalah logika Tuhan”.
Ibumu masih menangis.
Kamu tertawa. Menertawakan dirimu, yang kini kamu yakin menjadi bagian dari ketentuan Tuhan.
“Dia pasti lebih tahu”, gumammu.
0 komentar:
Posting Komentar