Rabu, 04 April 2012

Logika Tuhan

Logika Tuhan

Kamu mencoba mengingat-ingat nasihat itu. Satu-satunya warisan non-materi ayahmu sebelum dia wafat. Kamu sepertinya lupa, fatal sekali. Padahal kamu tahu, itu ucapan terakhir ayahmu. Harusnya ia bisa menjadi bekal bagimu menjalani kehidupan—yang kata ayahmu akan semakin berat. Tapi kamu kini lupa.
Waktu memang terasa begitu cepat bagi mereka yang takut. Begitu lama bagi mereka yang menunggu. Kamu kini ada di persimpangan itu. Titik di mana kamu menjadi manusia lemah ‘tak berdaya. Titik temu antara penantian dan ketakutan. Ya, kamu sedang takut dan menunggu. Dan masih belum ingat ucapan terakhir ayahmu.
“Suster, suster, anak saya sadar.. Ya Allah. Suster, suster, anak saya sadar.”
Samar-samar kamu menatap ke atas. Sambil membuka kelopak mata yang entah berapa lama sudah ‘tak terbuka, pelan-pelan. Kamu masih kenal betul suara itu. Suara ibumu. Tapi kamu masih belum sadar, sedang di mana, apa, mengapa.
26 Maret 2011, sepuluh bulan yang lalu kamu masih baik-baik saja. Sangat baik bahkan. Berkecukupan, tubuhmu sehat dan bugar. Di sana, di ruang keluarga itu, setelah merayakan ulang tahunmu, Ayah dan Ibumu sedang asyik membicarakan pernikahanmu. “Kamu sudah 27 tahun, harus segera, nanti jadi perjaka tua. Apalagi yang kautunggu?”, mereka selalu bilang begitu. Padahal kamu belum mau.
Dalam pikirmu itu selalu berkecamuk sebuah pertanyaan: “mengapa jodoh harus Tuhan yang menentukan, toh kita sendiri, manusia, yang menjalani”. Kamu selalu meragukan apa-apa yang ditentukan oleh Tuhan. Kamu jadi takut dengan apa-apa yang berkaitan dengan ketentuan Tuhan, sehingga ketika kamu akan dijodohkan, kamu takut—kalau-kalau itu jodoh yang disiapkan Tuhan, tapi tidak sesuai dengan maumu. Kamu takut tidak bisa mengelak, karena Tuhan maha berkehendak.
Kamu terus bermain-main dengan logikamu.
“Wira, ayo berangkat, kita udah telat nih.”
Kamu, bersama ayahmu memasuki mobil Mercedez Benz SLS AMG yang konon Mercy termahal saat itu. Dengan pakaian super rapi, dan rambut disisir sedemikian rupa menjadi super klimis, ayahmu terus mengajak kamu mengobrol. Selama perjalanan, dia terus membicarakan tentang masa depanmu, khususnya masalah pernikahan. Kamu, belum tahu ayahmu mengajakmu ke mana.
Kesekian kalinya kamu bertanya, akhirnya ayahmu bicara. Kamu akan dikenalkan dengan anak teman bisnis ayahmu. Kamu marah. Kamu berdua masuk ke dalam perdebatan panjang tentang kehidupan, dan jodoh.
“Aku tidak percaya dengan jodoh yang ditentukan Tuhan. Yang akan menjalani hidup ini aku, bukan Tuhan.”
“Ayo lah. Kalau begini terus, hidupmu akan makin berat. Kamu percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan?”
“Jelas. Siapa lagi?”
Sekarang kamu ingat. Saat itu, kamu menabrak sebuah bak truk karena berdebat saat menyetir. Kamu ingat, sebelum akhirnya kamu ‘tak sadarkan diri, kamu sempat melihat ayahmu. Dia meninggalkan dunia lebih cepat.
Dengan pandangan yang masih agak samar, matamu berusaha menangkap bayangan sebuah kalender yang menggantung di dinding kamar itu: 2 Februari 2012. Kamu sadar, sudah sepuluh bulan kamu ‘tak sadarkan diri, alias koma. Kamu ingin meraba wajah ibumu yang sedari tadi masih mengucap-ucap nama Tuhan. Kamu tidak tahu harus meraba dengan apa, tanganmu tidak ada. Dua-duanya. Kau rasa-rasa, kakimu juga tiada. Kamu kini cacat.
Kamu ingin menangis, tapi untuk apa? Kamu ingin menyesal kenapa kamu harus sadarkan diri, tapi untuk apa? Akhirnya kamu bernafas lega. Mencoba tersenyum sesantai mungkin.
Kamu kini ingat pernyataan terakhir ayahmu: “Karena dunia ini ciptaan Tuhan, maka yang berlaku di sini adalah logika Tuhan”.
Ibumu masih menangis.
Kamu tertawa. Menertawakan dirimu, yang kini kamu yakin menjadi bagian dari ketentuan Tuhan.
“Dia pasti lebih tahu”, gumammu.

0 komentar:

Posting Komentar