Mahadaya Keangkuhan
Aku tak tahu apakah alam benar-benar
berbahasa. Seperti manusia: saling menyapa, saling bicara. Yang pasti,
ada yang lain dengan hujan kemarin sore. Angin yang lebih kencang,
rintik yang lebih lebat, dan petir yang menyambar bergantian tanpa
pengertian. Mengingatkanku pada sejarah: banjir bandang di zaman Nabi
Nuh, longsornya bebatuan di zaman Nabi Luth, atau badai pasir yang
menyelimut di masa Nabi Hud. Mungkinkah itu isyarat?
Selama ini,
aku hanya punya dua sudut pandang dalam melihat apa yang ditunjukkan
oleh alam. Pertama, apa yang mereka lakukan adalah ujian. Kedua, itu
merupakan hukuman. Atau barangkali keduanya tidak perlu dipisahkan,
ujian sekaligus hukuman. Salah satu maupun keduanya pada akhirnya
mencoba membawa kita pada dataran kesadaran. Sebagian dari kita sampai
ke sana, sebagian lagi hilang dalam perjalanan. Tidak lama kemudian,
sebagian dari sebagian yang sampai akan mulai tidak betah, lalu mencari
jalan pulang, lalu pulang.
Aku tidak mau naif. Aku tidak ingin keduanya: ujian maupun hukuman. Tapi firman yang Maha Kuasa gamblang menegaskan: belum beriman kita bila belum diuji.
Semoga kita termasuk kepada sebagian yang sampai pada kesadaran.
Kemudian dengan senyum mengembang dan mata yang teduh, hati ini bisa
mengucap terima kasih pada alam.
Mungkin alam memang tidak ingin
berbahasa. Hanya saja, kerendahan hatinya membuat ia sepenuhnya
menjalankan apa yang dimau oleh Yang Maha Kuasa. Alam hanya menjalankan
tugas penciptaan. Dan sejatinya itu bukan sekedar ‘hanya’. Karena
nyatanya kita belum bisa sepenuhnya. Seperseribunya pun aku ragu.
Kenapa? Karena dalam diri kita
bersemayam sebuah dzat mahahalus sampai-sampai tiada kita sadari
keberadaannya. Kita biasa menyebutnya ‘keangkuhan’.
0 komentar:
Posting Komentar