Belajar dari Rasulullah dan Sahabat: Menjadi Mahasiswa yang Peduli, Kritis, Berprestasi
Mahasiswa oh mahasiswa. Sebuah
kata dengan seribu kebanggan, rangkaian huruf yang penuh akan harapan.
Sejarahnya penuh dengan romantisme pengorbanan. Sebuah representasi dari
potret masa depan Indonesia, sebuah simbol semangat perubahan yang
terus menggelora. Oh Tuhan, betapa mahasiswa begitu mulia…
Sadar ataupun tidak, kita sekarang telah
menjadi bagian dari golongan orang-orang spesial yang bernama
“mahasiswa”. Arti dari semua ini hanya satu: Kita punya amanah sangat
besar yang harus kita ditunaikan, tidak kurang, tidak lebih. Amanah
besar ini lebih familiar disebut sebagai “Tri Dharma Perguruan Tinggi”,
yang meliputi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Segala
tindakan sebagai upaya menjalankan amanah besar itu haruslah dibangun di
atas karakter yang kuat. Mengacu pada Tri Dharma PT tadi, karakter
dasar yang mutlak harus ada dalam diri seorang mahasiswa adalah peduli,
kritis, berprestasi. Ikhwal karakter-karakter ini, kita bisa belajar
dari seorang Muhammad saw. Manusia mulia yang oleh Allah telah
ditetapkan sebagai teladan seindah-indahnya teladan bagi seluruh ummat
manusia.
Peduli
Entah perasaan apa yang membuat
Rasulullah, seorang manusia suci pilihan Allah mau bersusah-susah
mengotori tangannya hanya untuk memperbaiki sandal seorang anak yatim
yang rusak. Entah gelora seperti apa yang membuat manusia paling besar
tugasnya di muka bumi ini merelakan waktunya hanya untuk menjahit
pakaian kumal milik orang tua yang miskin. Entah dorongan sedahsyat apa
yang membuat laki-laki yang telah dijamin masuk surga itu mengumpulkan
sahabat-sahabatnya yang miskin di sudut masjid, lalu membagikan makanan
yang beliau miliki, sehingga beliau tidak pernah makan kenyang selama
tiga hari. Sulit dipercaya, namun itulah yang terjadi. Abu Hurairah
menceritakan tentang betapa perhatian Rasulullah saw kepada para
sahabatnya, bahkan kepada orang yang dipandang remeh oleh masyarakat.
Waktu itu Rasulullah saw. pulang dari Tabuk. Dia melihat tangan Sa’d bin
Muadz Al Anshari yang menghitam dan melepuh. “Kenapa tanganmu?“ kata
Rasulullah saw. “Akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan
untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku.“ jawab
Sa’d. Maka Rasulullah saw mengambil tangan itu dan menciumnya, “Inilah
tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.“ Lihatlah, betapa
Rasulullah saw. yang tangannya diperebutkan untuk dicium, sekarang
mencium tangan yang kasar. Begitulah Rasulullah saw memperlakukan kaum
dhuafa.
Itulah pesona kenabian seorang Muhammad,
cerminan kepribadian Al-Qur’an yang terpancar memberikan kehangatan
bagi sekitarnya. Sebagai Uswatun Hasanah, beliau telah mencontohkan,
betapa kita sebagai seorang Muslim harus punya kepekaan sosial yang
lebih, perhatian terhadap sekitar yang lebih, dan cinta yang terus
menggelora kepada sesama manusia. Lalu apakah kita harus meniru apa yang
dilakukan Rasulullah? Jelas. Sebagai mahasiswa, betapa banyak ruang
yang diberikan oleh Allah untuk kita berbuat lebih. Tidak perlu besar,
mulailah dari yang kecil. Tidak perlu menunggu tua, mulai saja dari
sekarang. Coba lihat sekitar kita, barangkali ada teman yang kesulitan
hanya untuk sekedar makan siang. Coba lihat, barangkali ada teman yang
sedang kesulitan dalam menyerap pelajaran. Hal lain yang bisa kita
lakukan adalah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial, ikut
berpartisipasi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, atau mungkin sekedar
mengajak teman-teman kita untuk shalat tepat waktu, mengajak teman kita
untuk mengaji, atau belajar bersama. Itu juga merupakan bentuk
kepedulian.
Kritis
Sejatinya Pesona kenabian Muhammad tidak
hanya terlihat ketika beliau telah mendapat gelar Rasulullah. Sekitar 3
tahun Muhammad menghabiskan waktunya di sebuah gua kecil yang begitu
lembut, terletak di kejauhan, dua mil dari Kota Makkah. Gua itu adalah
Gua Hira. Di tempat itulah Muhammad terbiasa menyendiri, merenung, dan
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk dalam
pikirannya kala itu.
Kegelisahan. Ya, itulah yang dirasakan
oleh Muhammad, kegelisahan inilah yang membuatnya terus bertanya-tanya
“Mana yang benar? Mana yang benar?”. Pertanyaan-pertanyaan ini lahir
dari sikap kritis. Melihat kondisi Makkah yang tidak ideal: bayi-bayi
perempuan dikubur hidup-hidup, anak dinikahkan oleh pamannya,
petinggi-petinggi makkah yang bertindak sewenang-wenang, membangunkan
sikap kritis Muhammad dan melahirkan sebuah pertanyaan besar: “MANA YANG
BENAR?”. Pertanyaan ini yang kemudian dijawab oleh Allah dengan
diturunkannya wahyu melalui Jibril.
Coba sejenak kita renungkan dua paragraf
di atas. Saya secara pribadi dapat mengambil kesimpulan: perubahan
lahir dari sikap kritis. Sebagai mahasiswa, pernahkah kita merasakan
kegelisahan yang begitu menggelora? Pernahkah di pikiran kita berkecamuk
pertanyaan-pertanyaan mengapa korupsi di Indonesia begitu tinggi,
mengapa keadilan di Indonesia belum juga tegak, atau mengapa rakyat
Indonesia belum juga sejahtera. Kalau pertanyaan-pertanyaan itu belum
pernah terbesit, mungkin sekaranglah saatnya kita melihat semuanya
dengan lebih serius. Saatnya kita bangun sikap kritis ini di dalam diri
kita. Lagi-lagi tidak perlu besar, mulailah dari yang kecil. Tidak perlu
menunggu tua, mulai saja dari sekarang, mumpung kita masih mahasiswa.
Bisa dengan membiasakan diri bertanya ketika sedang kuliah, tidak
menerima begitu saja ajakan teman, tidak melakukan sesuatu yang kita
tidak tahu manfaatnya. Ini mungkin hal kecil, tapi hal kecil ini akan
diikuti oleh hal besar.
Berprestasi
Fastabiqul Khairat. Mungkin kalimat ini
sudah sering kita dengar, dari ceramah-ceramah, dari buku-buku, atau
dari ucapan seorang teman. Ya, “Berlomba-lomba dalam kebaikan”, ini
adalah kewajiban seorang Muslim. Perintah ini yang telah membuat umat
muslim yang ketika diturunkan ayat tentang perang mereka berlomba-lomba
ingin ikut berperang. Perintah ini yang membuat Abu Bakar dan Umar rela
menyumbangkan sebagian bahkan seluruh hartanya demi Islam. Perintah ini
memberikan pesan bahwa seorang Muslim harus memiliki jiwa kompetitif.
Saya berharap kita tidak mengidentikkan
“kompetitif” dengan “individualis”, atau dengan “mau menang sendiri”,
karena itu jelas berbeda konteksnya. Prestasi, dalam kata sederhana ini
terangkum kalimat “membanggakan orang-orang di sekitarku”, atau
“menginspirasi banyak orang”, atau “membuktikan hasil kerja kerasku”.
Prestasi, tidak bisa kita maknai hanya sekedar mendapat piala, atau
mendapat IP tertinggi di kelas. Prestasi adalah perpaduan antara kemauan
dan usaha yang maksimal untuk bergerak. Dalam bidang apapun, selama itu
positif dan bermanfaat. Kita bisa berprestasi sebagai juara renang dan
membuat bangga kampus kita, atau menjadi mahasiswa berprestasi dan
membuat bangga orang tua kita, atau menjadi relawan bencana yang
bermanfaat bagi saudara-saudara kita, atau menjadi sekedar teman setia
yang senantiasa ada di samping sahabat-sahabat kita di kala duka, atau
menjadi mahasiswa yang senantiasa menebar kebaikan dengan
ajakan-ajakannya, menjadi mahasiswa yang senantiasa terjaga akhlaknya.
Itu semua adalah prestasi, tidak ada seorangpun yang dapat membatasi
makna dari kata prestasi.
Sebagaimana kita bangga menjadi seorang
Muslim, begitu pula kita harus bangga telah diberi kesempatan oleh Allah
untuk menjadi mahasiswa, dan ini harus kita syukuri. Menjadi mahasiswa
yang ideal memang tidak mudah, tapi itulah tantangannya. Itulah harga
yang harus kita bayar untuk mendapat kebaikan yang lebih besar. Salah
seorang Sahabat bahkan berkata: “Surga itu ada di bawah naungan pedang”.
Memang sulit kalau kita bayangkan, sangat berat kalau hanya kita
pikirkan. Oleh karena itu, jangan hanya kita bayangkan. Yuk, kita
lakukan! Kita tumbuhkan karakter-karakter ini, kita pupuk dengan
semangat terbaik! Mulai dari hal kecil… Mulai dari sekarang…
0 komentar:
Posting Komentar