Rabu, 04 April 2012

Belajar dari Rasulullah dan Sahabat: Menjadi Mahasiswa yang Peduli, Kritis, Berprestasi

Belajar dari Rasulullah dan Sahabat: Menjadi Mahasiswa yang Peduli, Kritis, Berprestasi

Mahasiswa oh mahasiswa. Sebuah kata dengan seribu kebanggan, rangkaian huruf yang penuh akan harapan. Sejarahnya penuh dengan romantisme pengorbanan. Sebuah representasi dari potret masa depan Indonesia, sebuah simbol semangat perubahan yang terus menggelora. Oh Tuhan, betapa mahasiswa begitu mulia…
Sadar ataupun tidak, kita sekarang telah menjadi bagian dari golongan orang-orang spesial yang bernama “mahasiswa”. Arti dari semua ini hanya satu: Kita punya amanah sangat besar yang harus kita ditunaikan, tidak kurang, tidak lebih. Amanah besar ini lebih familiar disebut sebagai “Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yang meliputi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Segala tindakan sebagai upaya menjalankan amanah besar itu haruslah dibangun di atas karakter yang kuat. Mengacu pada Tri Dharma PT tadi, karakter dasar yang mutlak harus ada dalam diri seorang mahasiswa adalah peduli, kritis, berprestasi. Ikhwal karakter-karakter ini, kita bisa belajar dari seorang Muhammad saw. Manusia mulia yang oleh Allah telah ditetapkan sebagai teladan seindah-indahnya teladan bagi seluruh ummat manusia.
Peduli
Entah perasaan apa yang membuat Rasulullah, seorang manusia suci pilihan Allah mau bersusah-susah mengotori tangannya hanya untuk memperbaiki sandal seorang anak yatim yang rusak. Entah gelora seperti apa yang membuat manusia paling besar tugasnya di muka bumi  ini merelakan waktunya hanya untuk menjahit pakaian kumal milik orang tua yang miskin. Entah dorongan sedahsyat apa yang membuat laki-laki yang telah dijamin masuk surga itu mengumpulkan sahabat-sahabatnya yang miskin di sudut masjid, lalu membagikan makanan yang beliau miliki, sehingga beliau tidak pernah makan kenyang selama tiga hari. Sulit dipercaya, namun itulah yang terjadi. Abu Hurairah menceritakan tentang betapa perhatian Rasulullah saw kepada para sahabatnya, bahkan kepada orang yang dipandang remeh oleh masyarakat. Waktu itu Rasulullah saw. pulang dari Tabuk. Dia melihat tangan Sa’d bin Muadz Al Anshari yang menghitam dan melepuh. “Kenapa tanganmu?“ kata Rasulullah saw. “Akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku.“  jawab Sa’d. Maka Rasulullah saw mengambil tangan itu dan menciumnya, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.“ Lihatlah, betapa Rasulullah saw. yang tangannya diperebutkan untuk dicium, sekarang mencium tangan yang kasar. Begitulah Rasulullah saw memperlakukan kaum dhuafa.
Itulah pesona kenabian seorang Muhammad, cerminan kepribadian Al-Qur’an yang terpancar memberikan kehangatan bagi sekitarnya. Sebagai Uswatun Hasanah, beliau telah mencontohkan, betapa kita sebagai seorang Muslim harus punya kepekaan sosial yang lebih, perhatian terhadap sekitar yang lebih, dan cinta yang terus menggelora kepada sesama manusia. Lalu apakah kita harus meniru apa yang dilakukan Rasulullah? Jelas. Sebagai mahasiswa, betapa banyak ruang yang diberikan oleh Allah untuk kita berbuat lebih. Tidak perlu besar, mulailah dari yang kecil. Tidak perlu menunggu tua, mulai saja dari sekarang. Coba lihat sekitar kita, barangkali ada teman yang kesulitan hanya untuk sekedar makan siang. Coba lihat, barangkali ada teman yang sedang kesulitan dalam menyerap pelajaran. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial, ikut berpartisipasi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, atau mungkin sekedar mengajak teman-teman kita untuk shalat tepat waktu, mengajak teman kita untuk mengaji, atau belajar bersama. Itu juga merupakan bentuk kepedulian.
Kritis
Sejatinya Pesona kenabian Muhammad tidak hanya terlihat ketika beliau telah mendapat gelar Rasulullah. Sekitar 3 tahun Muhammad menghabiskan waktunya di sebuah gua kecil yang begitu lembut, terletak di kejauhan, dua mil dari Kota Makkah. Gua itu adalah Gua Hira. Di tempat itulah Muhammad terbiasa menyendiri, merenung, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk dalam pikirannya kala itu.
Kegelisahan. Ya, itulah yang dirasakan oleh Muhammad, kegelisahan inilah yang membuatnya terus bertanya-tanya “Mana yang benar? Mana yang benar?”. Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari sikap kritis. Melihat kondisi Makkah yang tidak ideal: bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, anak dinikahkan oleh pamannya, petinggi-petinggi makkah yang bertindak sewenang-wenang, membangunkan sikap kritis Muhammad dan melahirkan sebuah pertanyaan besar: “MANA YANG BENAR?”. Pertanyaan ini yang kemudian dijawab oleh Allah dengan diturunkannya wahyu melalui Jibril.
Coba sejenak kita renungkan dua paragraf di atas. Saya secara pribadi dapat mengambil kesimpulan: perubahan lahir dari sikap kritis. Sebagai mahasiswa, pernahkah kita merasakan kegelisahan yang begitu menggelora? Pernahkah di pikiran kita berkecamuk pertanyaan-pertanyaan mengapa korupsi di Indonesia begitu tinggi, mengapa keadilan di Indonesia belum juga tegak, atau mengapa rakyat Indonesia belum juga sejahtera. Kalau pertanyaan-pertanyaan itu belum pernah terbesit, mungkin sekaranglah saatnya kita melihat semuanya dengan lebih serius. Saatnya kita bangun sikap kritis ini di dalam diri kita. Lagi-lagi tidak perlu besar, mulailah dari yang kecil. Tidak perlu menunggu tua, mulai saja dari sekarang, mumpung kita masih mahasiswa. Bisa dengan membiasakan diri bertanya ketika sedang kuliah, tidak menerima begitu saja ajakan teman, tidak melakukan sesuatu yang kita tidak tahu manfaatnya. Ini mungkin hal kecil, tapi hal kecil ini akan diikuti oleh hal besar.
Berprestasi
Fastabiqul Khairat. Mungkin kalimat ini sudah sering kita dengar, dari ceramah-ceramah, dari buku-buku, atau dari ucapan seorang teman. Ya, “Berlomba-lomba dalam kebaikan”, ini adalah kewajiban seorang Muslim. Perintah ini yang telah membuat umat muslim yang ketika diturunkan ayat tentang perang mereka berlomba-lomba ingin ikut berperang. Perintah ini yang membuat Abu Bakar dan Umar rela menyumbangkan sebagian bahkan seluruh hartanya demi Islam. Perintah ini memberikan pesan bahwa seorang Muslim harus memiliki jiwa kompetitif.
Saya berharap kita tidak mengidentikkan “kompetitif” dengan “individualis”, atau dengan “mau menang sendiri”, karena itu jelas berbeda konteksnya. Prestasi, dalam kata sederhana ini terangkum kalimat “membanggakan orang-orang di sekitarku”,  atau “menginspirasi banyak orang”, atau “membuktikan hasil kerja kerasku”. Prestasi, tidak bisa kita maknai hanya sekedar mendapat piala, atau mendapat IP tertinggi di kelas. Prestasi adalah perpaduan antara kemauan dan usaha yang maksimal untuk bergerak. Dalam bidang apapun, selama itu positif dan bermanfaat. Kita bisa berprestasi sebagai juara renang dan membuat bangga kampus kita, atau menjadi mahasiswa berprestasi dan membuat bangga orang tua kita, atau menjadi relawan bencana yang bermanfaat bagi saudara-saudara kita, atau menjadi sekedar teman setia yang senantiasa ada di samping sahabat-sahabat kita di kala duka, atau menjadi mahasiswa yang senantiasa menebar kebaikan dengan ajakan-ajakannya, menjadi mahasiswa yang senantiasa terjaga akhlaknya. Itu semua adalah prestasi, tidak ada seorangpun yang dapat membatasi makna dari kata prestasi.
Sebagaimana kita bangga menjadi seorang Muslim, begitu pula kita harus bangga telah diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi mahasiswa, dan ini harus kita syukuri. Menjadi mahasiswa yang ideal memang tidak mudah, tapi itulah tantangannya. Itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapat kebaikan yang lebih besar. Salah seorang Sahabat bahkan berkata: “Surga itu ada di bawah naungan pedang”. Memang sulit kalau kita bayangkan, sangat berat kalau hanya kita pikirkan. Oleh karena itu, jangan hanya kita bayangkan. Yuk, kita lakukan! Kita tumbuhkan karakter-karakter ini, kita pupuk dengan semangat terbaik! Mulai dari hal kecil… Mulai dari sekarang…

0 komentar:

Posting Komentar