Rabu, 04 April 2012

Sudut Pandang

Sudut Pandang

Tiada yang lebih gombal dari ucapanmu beberapa hari yang lalu, saat dengan iseng kaubilang: ‘aku rela dicap cewe matre, asalkan kamu jadi laut.’ Aku hanya tertawa kecil, lantas reflek bertanya: ‘kenapa?’.  ‘Biar semua orang merestui persandingan kita’.  Jawabmu datar.
‘Laut adalah tempat bagi cewe atau cowo matre’. Terlepas dari substansi gombalanmu, konsep ini sungguh gila! Kenapa tempat seindah itu diasosiasikan dengan perilaku senegatif materialistis (matre)?
Dalam tulisan, sajak-sajak, atau lirik, laut biasa dijadikan bahan metafora untuk mewakili makna dalam, khususnya perasaan. Sebut saja lirik lagu ini: ‘Sedalam-dalamnya lautan hindia, lebih dalam lagi cintaku padamu’. Oh, betapa mulia kehadiran kata ‘laut’ di dunia ini.
Naasnya, laut kerap juga jadi perumpamaan tempat bagi hal-hal yang ingin kita jauhi, atau kita jauhkan. Seperti kalimat: “Cewe matre ke laut aje”. Atau bila kita sedang kesal pada Si Andi, ketika ada orang bertanya: ‘kemana Andi?’, kita akan reflek menjawab dengan ketus: ‘ke laut kali!’. (Andi hanyalah tokoh fiktif)
Orang-orang  yang mencetuskan slogan “cewe/cowo matre ke laut aje” pasti tidak pernah menyadari bahwa di dunia ini ada profesi mulia bernama nelayan yang pekerjaan mereka setiap hari adalah mencari tangkapan di laut, kebanyakan dari mereka pun tinggal dekat dengan laut. Atau mungkin para pencetus ini tidak tahu bahwa bagi beberapa orang, laut adalah sebuah tempat yang niscaya untuk dilewati demi bertemu sanak saudara, termasuk saya. Siapapun yang mencetuskan slogan itu, sungguh tidak adil. Atau kalau tidak sengaja, ketidaksengajaannya itu sungguh tidak adil.
Saya tidak ingin menghujat orang-orang terdahulu yang mencetuskan slogan ini. Itu tidak penting. Apalagi sampai mengajukan masalah ini lewat jalur hukum, menyewa pengacara, lalu menuntut. Kurang kerjaan sekali rasanya.
Sungguh, bukan itu yang saya inginkan.
Saya hanya ingin bilang bahwa nyata-nyatanya, di dunia ini, setiap orang berhak punya sudut padang atas apapun yang ada, atas apapun terjadi.
Saat ada wanita yang bilang: ‘Dasar kamu, buaya!’. Orang yang menganggap buaya adalah seekor hewan yang unyu tentu akan sangat tersanjung dengan ucapan ini. Pesannya tidak sampai. Antara si Wanita dengan orang-yang-dianggapnya-buaya tersebut ada perbedaan sudut pandang. Mereka punya penilaian berbeda terhadap si buaya. Begitu pula dengan api. Ia bisa dipandang sebagai sesuatu yang merusak. Melahap habis dengan cepat apa yang dijamahnya.  Di sisi lain ia bisa dipandang sebagai sesuatu yang membara, sehingga sering dijadikan perumpamaan bagi semangat yang besar.
Begitu pula dengan hujan,
Begitu pula dengan matahari,
Begitu pula dengan langit, tikus, babi, meja, rumah, pohon, jalan, jembatan, atau tali jemuran. Mereka bisa jadi apa saja bergantung kepada sudut pandang kita.
Begitu pula dengan masalah yang kita rasakan dalam hidup. Silahkan saja kalau kamu mau menganggap itu sebagai beban berat yang harus kamu kamu takuti, atau bahkan kamu mau lari darinya. Itu hakmu. Dan adalah hak perogratif saya untuk menganggap masalah adalah anugerah Tuhan, sebuah sarana untuk menjadikan kita lebih kuat, sehingga kita menjadi layak masuk Jannah-Nya.
 
Download tulisan dalam PDF
Sudut Pandang 

0 komentar:

Posting Komentar