Sudut Pandang
Tiada yang lebih gombal dari
ucapanmu beberapa hari yang lalu, saat dengan iseng kaubilang: ‘aku rela
dicap cewe matre, asalkan kamu jadi laut.’ Aku hanya tertawa kecil,
lantas reflek bertanya: ‘kenapa?’. ‘Biar semua orang merestui
persandingan kita’. Jawabmu datar.
‘Laut adalah tempat bagi cewe atau
cowo matre’. Terlepas dari substansi gombalanmu, konsep ini sungguh
gila! Kenapa tempat seindah itu diasosiasikan dengan perilaku senegatif
materialistis (matre)?
Dalam tulisan, sajak-sajak, atau lirik,
laut biasa dijadikan bahan metafora untuk mewakili makna dalam,
khususnya perasaan. Sebut saja lirik lagu ini: ‘Sedalam-dalamnya lautan
hindia, lebih dalam lagi cintaku padamu’. Oh, betapa mulia kehadiran kata ‘laut’ di dunia ini.
Naasnya, laut
kerap juga jadi perumpamaan tempat bagi hal-hal yang ingin kita jauhi,
atau kita jauhkan. Seperti kalimat: “Cewe matre ke laut aje”. Atau bila
kita sedang kesal pada Si Andi, ketika ada orang bertanya: ‘kemana
Andi?’, kita akan reflek menjawab dengan ketus: ‘ke laut kali!’. (Andi
hanyalah tokoh fiktif)
Orang-orang yang mencetuskan slogan
“cewe/cowo matre ke laut aje” pasti tidak pernah menyadari bahwa di
dunia ini ada profesi mulia bernama nelayan yang pekerjaan mereka setiap
hari adalah mencari tangkapan di laut, kebanyakan dari mereka pun
tinggal dekat dengan laut. Atau mungkin para pencetus ini tidak tahu
bahwa bagi beberapa orang, laut adalah sebuah tempat yang niscaya untuk
dilewati demi bertemu sanak saudara, termasuk saya. Siapapun yang
mencetuskan slogan itu, sungguh tidak adil. Atau kalau tidak sengaja,
ketidaksengajaannya itu sungguh tidak adil.
Saya tidak ingin menghujat orang-orang
terdahulu yang mencetuskan slogan ini. Itu tidak penting. Apalagi sampai
mengajukan masalah ini lewat jalur hukum, menyewa pengacara, lalu
menuntut. Kurang kerjaan sekali rasanya.
Sungguh, bukan itu yang saya inginkan.
Saya hanya ingin bilang bahwa
nyata-nyatanya, di dunia ini, setiap orang berhak punya sudut padang
atas apapun yang ada, atas apapun terjadi.
Saat ada wanita yang bilang: ‘Dasar kamu, buaya!’. Orang yang menganggap buaya adalah seekor hewan yang unyu
tentu akan sangat tersanjung dengan ucapan ini. Pesannya tidak sampai.
Antara si Wanita dengan orang-yang-dianggapnya-buaya tersebut ada
perbedaan sudut pandang. Mereka punya penilaian berbeda terhadap si
buaya. Begitu pula dengan api. Ia bisa dipandang sebagai sesuatu yang
merusak. Melahap habis dengan cepat apa yang dijamahnya. Di sisi lain
ia bisa dipandang sebagai sesuatu yang membara, sehingga sering
dijadikan perumpamaan bagi semangat yang besar.
Begitu pula dengan hujan,
Begitu pula dengan matahari,
Begitu pula dengan langit, tikus, babi,
meja, rumah, pohon, jalan, jembatan, atau tali jemuran. Mereka bisa jadi
apa saja bergantung kepada sudut pandang kita.
Begitu pula dengan masalah yang kita
rasakan dalam hidup. Silahkan saja kalau kamu mau menganggap itu sebagai
beban berat yang harus kamu kamu takuti, atau bahkan kamu mau lari
darinya. Itu hakmu. Dan adalah hak perogratif saya untuk menganggap
masalah adalah anugerah Tuhan, sebuah sarana untuk menjadikan kita lebih
kuat, sehingga kita menjadi layak masuk Jannah-Nya.
Download tulisan dalam PDF
Sudut Pandang
0 komentar:
Posting Komentar