Rabu, 04 April 2012

21 Keping Rindu

21 Keping Rindu

Menatapi wajah-wajah itu, berarti mendeklarasikan diri bahwa aku siap menitikkan air mata. Bukan karena pola wajah mereka menyedihkan, tapi karena wajah mereka adalah laut yang di dalamnya menyimpan sejuta harta karun kenangan. Harta karun yang hanya bisa ditemukan dengan peta kerinduan. Sebuah peta yang dimiliki hanya oleh para pecinta.
Ini cerita tentang dua puluh satu puzzle kardus merah muda. Tidak terlalu besar. Berbentuk hati bila berpadu dengan tepat. Lembutlah pasti hati yang membuatnya.
Ini cerita tentang dua puluh satu potensi, yang mengadu nasib bersama, dan menamakan diri mereka pahlawan. Dua puluh satu pahlawan yang merasa sedang terpanggil oleh keadaan-keadaan yang harus diselamatkan, dan butuh penyelamat, butuh pahlawan.
Dua puluh satu organisme bernama manusia yang merindukan kedamaian. Atau dua puluh satu jiwa damai yang saling merindu…
Siapa yang bertanggung jawab atas apa yang kami lakukan. Bahkan mungkin ini adalah dosa terbesar. Kami, telah menjadikan kami keluarga tanpa akad. Siapa pula yang mau menjadi penghulu bagi dua puluh satu orang saling merindu yang ingin menjalin diri dalam ikatan keluarga. Meski mungkin sekedar metafora. Cukuplah ada kami, dan dinding G lantai tiga yang jadi saksi.
Ketidakmengertian telah mengajarkan kami untuk belajar. Belajar memahami arti senyuman, atau mungkin sekedar tatapan. Dan rindu, telah membuat proses pembelajaran kami lebih indah dan romantis. Indah dan romantis, seperti membuat singkatan-singkatan lucu lalu tertawa bersama, menganalogikan perut buncit dengan susu bantal, menjadikan seorang badan besar  seolah-olah dua orang yang sedang duduk berdekatan, atau sekedar saling megungkit hobi yang aneh, seperti: mencuci .  Atau memberi hadiah ketika marah.
Sebagian dari kami adalah para penggoda janggut. Mengidentikkan janggut dengan usia, jadilah yang janggutnya paling lebat dianggap yang tertua. Akhirnya beliau  terus menerus didera, oleh orang-orang yang suka mendera. Padahal wanita-wanita mana ungkin berjanggut, setua apapun mereka. Dan siapa pula yang tega mendera wanita terus menerus. Apalagi, empat belas wanita yang ada dalam cerita ini, adalah empat belas wanita paling anggun yang ada di dunia. Anggun dengan versinya masing-masing. Dan sisanya, adalah tujuh pria paling macho yang pernah terlahir ke dunia belantara ini. Tujuh pria dengan jiwa macho yang danugrahi sifat kece di permukaan (ternyata setelah dicari di KBBI, kece itu artinya cantik. Well, jangan marah ya).
Karakter yang beragam selalu menjadi topik yang menarik dalam dinamika keluarga besar ini. Dia yang pendiam adalah dia yang mudah panik, total, sekaligus baik hati. Dia yang tenang adalah dia yang pengertian, lembut, dan melankolis. Dan masih banyak dia-dia yang lain. Yang telah menjadi inspirasi bagi dia-dia yang lainnya. Itulah yang membuat kami berpadu, karena kutub magnet selalu butuh perbedaan untuk dapat menyatu. Dan aku selalu percaya sebuah definisi metafora, bahwa ‘Dalam sebuah kata sederhana keberagaman adalah cinta, di mana kita saling melengkapi, memberi, dan berbagi kasih sayang’.
Kasihanilah ia  yang memegang uang. Sebagai barang paling sensitif sedunia, pemegangnya selalu menjadi objek cibiran. Lontaran kata “pelit” atau sekedar “perhitungan banget” adalah santapannya. Ia sadar betul bahwa ia harus mampu bertahan menanggung cibiran, demi kelangsungan kami. Bon-bon adalah sahabatnya sehari-hari, bahkan bon kosong sudah dianggap menjadi saudara kandung. Demi kelestarian tugas kepahlawanan kami. Sungguh mulia. Patriotik. Ada lagi yang lain, yang ‘tak kalah patriotik. Seorang wanita dengan bungkusan nasi padang di tangan kanannya, kardus air mineral gelas (lebih sering dengan merk dagang Quary) di tangan kirinya, serta karung beras di pundaknya. Ah.. Berlebihan sekali aku. Tapi dialah memang yang menjadi penenang perut kami apabila mulai mengaum, bisa dibilang ia adalah pawang perut.
Kami tidak terlepas dari ia yang mudah galau. Dari ia yang sabar memendam kesal.  Ia yang mudah becek pipinya .  Ia yang rela dikunjungi rumahnya, yaitu ia yang harus bertepuk macho untuk  sekedar memanggil ojek. Rumah itu, cukup jauh memang, tapi itulah perekat awal hati kami. Di sana, batu pertama dinasti kerinduan didirikan.
Satu dari dua orang paling pintar dari kami pergi ke kota lain. Meninggalkan ia yang kini sendiri, dan tetap, paling pintar. Ia yang berjuang menyeleksi. Berkorban mencari juri. Dan membentuk orang-orang berprestasi. Kami juga punya malaikat. Ia adalah teduh dalam terik. Tentram dalam cekam. Menghapus gelisah membawa obat. Betadine, kassa, alkohol, hansaplast, oksigen, roti, promaag, antagin, parasetamol, dan cinta. Malaikat ini dikepalai oleh orang sakti. Ia orang Banten. ‘Tak tahu betul aku, kebalkah ia. Yang jelas, rambut gondrong ala bintang koreanya itu cukuplah membuat wanita berdegup histeris saat ia berkedip.
Cerita tentang kami memang terlalu indah bila aku pendam sendiri. Apalagi bila hanya jadi kenangan pribadi, hantu yang terus menakut-nakuti. Memaksa aku ingin kembali, menoleh ke belakang meski ‘tak berani, meniti jembatan waktu, sampai kutemui kalian sedang duduk melingkar di sana lagi, di G lt3, atau selasar Rektorat, atau di atas rembesan embun rumput cinta, yang membuat celana kita lembab namun tetap nyaman.
Kenangan itu kini menggantung hati-hati di langit-langit pikiranku. Kenangan tentang kalian. Konsep itu menakutkan sekali. Kenangan memang menjadi potongan kehidupan yang istimewa, tapi ia ‘tak melekat utuh lagi dalam realitas. Dan kita semua menyadari itu. Atau mungkin sebagian dari kita belum mampu menyadarinya. Atau belum mau.
Seberapa beragampun harmonisasi yang mampu disusun oleh huruf, ‘tak kan bermakna tanpa jeda. Maka biarlah jarak yang membentang di antara dua puluh satu orang ini ini, menjadi ruang yang mampu menghidupkan api-api rindu agar tetap menyala, tetap menerangi, dan tetap indah.  Dan semenjak aku menyatakan bahwa rindu adalah kata terindah yang pernah ada, aku menyebut dua puluh satu orang ini kepingan-kepingan rindu.

0 komentar:

Posting Komentar