PARIPURNA PURA-PURA
“DPR kok seperti anak TK” –Gus Dur
Perkenankan saya untuk tidak
sepenuhnya sepakat dengan argumen ini. Anak TK, mereka bertengkar,
saling mengejek, bercanda, dan kadang bertingkah semaunya, oleh sebab
mereka belum tahu. Mereka hanya belum mengerti. Namun kalau ada orang
sudah tua, sudah tahu mana baik buruk, sudah mengerti mana yang pantas
dilakukan mana yang tidak, sudah dipercaya rakyat, masih bertingkah
seperti itu, hipotesa saya ada dua: mereka tidak pernah sekolah, atau
memang dicipta tanpa otak. Lalu, di negeri nan kaya raya namun tiada
sejahtera ini, siapa lagi yang bisa kita percaya?
Jum’at, 30
Maret 2012 saya bersama 19 mahasiswa UI lainnya berkesempatan untuk ikut
mengawal sidang paripurna DPR di Senayan. Kabarnya, sidang hari itu
akan membahas empat agenda dan dimulai pukul 10.00, namun kami baru
hadir setelah shalat jum’at. Pengamanan yang ketat dilakukan oleh
sejumlah pihak kemanan yang biasa disebut PAMDAL. Beberapa hari
sebelumnya, kami memang sudah mengirimkan surat kepada pimpinan dan
berkoordinasi dengan pihak Humas sehingga kami bisa dipersilakan untuk
masuk ke dalam ruang sidang tanpa banyak hambatan (jadi kami tidak
memaksa masuk, apalagi melanggar prosedur).
Saya akan coba share sedikit,
mungkin tidak akan banyak cerita tentang substansi sidang, namun lebih
kepada kondisi—yang seperti anak TK, kata Gus Dur.
Saya agak lupa tepatnya pukul berapa,
sekitar jam satu lebih, dengan berbalut jeket kuning, kami sudah
menduduki ‘Fraksi Balkon’—sebutan bagi orang-orang yang ikut memantau
sidang di balkon. Saya menengok ke bawah, belum ada tanda-tanda
kehidupan (padahal katanya keputusan sebelum pending, sidang
akan dimulai jam 13.30). Sidang paripurna baru dimulai sekitar jam
14.30, setelah sebelumnya Marzuki Ali, pimpinan sidang yang juga
terlambat hadir memanggil peserta sidang berkali-kali. Saya juga baru
tahu ternyata ruang sidang punya bel “kring.. kring..” yang
berbunyi berkali-kali mengingatkan bahwa sidang harus segera
dimulai—memang seperti anak TK. Marzuki Ali bahkan sempat berkata:
“sudah.. Berdo’anya setengah jam saja, rapat harus segera dimulai..”.
Sebelum sidang dimulai pun, wakil-wakil rakyat yang gagah dengan pakaian
mewahnya itu perlu diperingatkan berkali-kali untuk langsung
duduk—menghentikan aktifitas mereka: berdiri, berkumpul, lalu mengobrol.
Sirna sudah rasa hormat saya—yang sebelumnya memang tidak ada— pada
para pengambil kebijakan ini.
Sidang pun berlangsung, setelah bicara
cukup panjang, pimpinan mempersilakan tiap fraksi untuk menyampaikan
pandangannya terkait hasil Rapat Pemerintah bersama Badan Anggaran untuk
mengubah/menambahkan Pasal 7 ayat 6 UU no 22 tentang APBN. Ada yang
setuju, beberapa tidak setuju, beberapa setuju dengan syarat
masing-masing. Tapi kesimpulan saya satu: semuanya penjilat.
Sekitar pukul 16.00 sidang sudah tidak
kondusif. Tidak jelas sidang mau dibawa ke mana. Pimpinan sidang
menyimpulkan sendiri (!) bahwa tidak ditemukan kesepakatan sehingga
harus dilakukan mekanisme lobying. Konyolnya, sidang tiba-tiba
diketuk untuk skorsing tanpa kejelasan materi, lama lobying, dan kapan
sidang akan dimulai lagi. Marzuki Ali tiba-tiba berdiri lalu ke luar
dari ruang sidang, sementara masih banyak peserta sidang yang interupsi
untuk menanyakan kejelasan. Alhasil, nasib sidang menjadi tidak jelas.
Padahal agenda yang dibahas menyangkut hajat hidup jutaan rakyat yang
mereka wakili, saya benar-benar merasa rakyat dipermainkan.
Setelah lama menunggu, saya dapat kabar
bahwa sidang akan dimulai lagi pukul 19.30. Kami pun standby di balkon.
Para anggota dewan belum juga menunjukkan batang hidungnya, termasuk
pimpinan sidang. Seiring berjalannya waktu, satu persatu anggota dewan
memasuki ruang sidang. Sambil menunggu saya sempat iseng-iseng melihat
ke bawah, keisengan saya membuat makin ilfeel karena saya dapati seorang
anggota dewan sedang merokok dengan khidmat. Saya tidak perlu bilang
siapa orang yang saya maksud, hanya saja beliau ini mengenakan kemeja
biru, dan dulu terkenal dengan peran ‘Si Poltak’. Tidak adakah aturan
yang melarang orang untuk merokok di dalam ruang sidang? Rasa-rasanya
tidak mungkin, apalagi untuk orang-orang terhormat seperti Anggota DPR.
Sekitar pukul 21.00, sudah mulai banyak
anggota dewan yang masuk. Namun, pimpinan sidang belum juga kelihatan.
Para anggota dewan yang sudah di dalam ini malah menggunakan pengeras
suara untuk memutar lagu iwan fals, bahkan sampai lagu pop Bunga dari
Ikhsan (Indonesian Idol). Parah. Sambil mereka sambil bercanda
dan mengejek satu sama lain. Beberapa anggota dewan yang kesal—atau
pura-pura kesal—bahkan maju ke podium, menanyakan keberadaan pimpinan.
Seketika ruang sidang dipenuhi sahutan-sahutan, jangan salahkan saya
kalau saya sulit membedakan ruangan sidang terhormat ini dengan hutan,
atau kebun binatang. Saya makin ilfeel.
Nyata-nyatanya sidang baru dimulai pukul
22.30. Sidang dimulai dengan pemaparan opsi-opsi hasil lobying,
dilanjutkan dengan pandangan anggota dewan terkait hasil tersebut.
Sempat-sempatnya pimpinan memelesetkan nama salah satu partai alih-alih
mencoba memecah kejenuhan. Dalam suasana seperti itu? Hei.. Rakyat menunggu…
Sidang mulai tidak kondusif karena hujan interupsi ditambah pimpinan
yang sepertinya bingung—atau pura-pura bingung. Pimpinan memutuskan
untuk dilakukan voting, padahal belum jelas apa yang akan divoting.
Pukul 00.00, pimpinan menanyakan apakah sidang akan dilanjutkan dengan
perpanjangan waktu atau akan dipending. Untuk memutuskan hal itupun
mesti dilakukan mekanisme voting, padahal ketika memutuskan untuk skorsing Pak Marzuki ketok palu dan cabut semaunya. Barangkali akan ada suatu masa di mana para nggota dewan ini akan melakukan voting untuk memutuskan akan dilakukan voting atau tidak. Voting untuk voting. Ilfeel tingkat dewa.
Sidang diperpanjang sampai pukul 01.00,
dan diputuskan (entah telah disepakati atau tidak, sepertinya hal itu
‘tak penting lagi. Masing-masing membawa kepentingan partai—yang juga
mungkin ditunggangi kepentingan asing) akan dilakukan voting terhadap
2 opsi. Opsi satu tidak ada perubahan atau penambahan pada pasal 7 ayat
6, opsi dua ada penambahan pasal 7 ayat 6A. Pasal 7 ayat 6 berbunyi:
“Harga eceren BBM Bersubsidi tidak mengalami kenaikan.” Pasal 7 ayat 6A
berbunyi: ”Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu 6 bulan
berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen,
pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan
kebijakan pendukungnya.” Ini jelas-jelas KONTRADIKTIF! Konyolnya, meski
nyata-nyata ayat 6 dengan ayat 6A kontradiktif, opsi 2 tetap dijadikan
opsi untuk divoting.
Opsi satu tidak memberikan kesempatan
sedikitpun untuk kenaikan BBM, opsi dua memungkinkan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM. Saya sebenarnya tidak mengerti seperti apa
seharusnya mekanisme voting dilangsungkan. Namun saya agak
risih melihat mekanisme yang dilakukan oleh sidang. Yang setuju dengan
opsi yang disebutkan diminta berdiri, lalu sekjen diminta untuk
menghitung, sementara masih banyak peserta sidang yang berdiri di depan
karena protes. Tiba-tiba pimpinan berkata: ‘Yak, 144 suara!’. Validkah? Atau pura-pura valid?
Beberepa setuju dengan opsi dua,
beberapa memilih walkout karena opsi yang awalnya ditawarkan tidak
diterima dan ketua fraksinya tidak dihargai, beberapa setuju opsi satu
dan tetap ditempat karena (katanya) mereka akan tetap menyuarakan suara
rakyat meski dengan jumlah sedikit. Ini seperti sinetron.. Mereka yang
awalnya (juga di media) menolak kenaikan ternyata memilih opsi dua.
Penjilat. Perkenankan saya untuk muak dengan semua kondisi ini.
Sidang yang dilakukan berjam-jam, penuh
dengan sahutan dan kelakuan-kelakuan yang menjijikkan dan penuh
kepura-puraan itu akhirnya berujung pada keputusan inkonstitusional
bahwa akan ditambahkan pasal 7 ayat 6A dalam UU APBN. Jangan salahkan
kami kalau kami berang dengan berteriak “pengkhianat konstitusi!”
atas keputusan yang diambil ditambah sidang yang berjalan seperti
sinetron, penuh kepura-puraan dan jilatan-jilatan. Kami hanya ingin
kalian sadar—meski ini utopis—Wahai Para Wakil Rakyat yang Terhormat,
bahwa kehadiran kalian di sidang paripurna itu untuk mewakili
kepentingan rakyat banyak. Bukan kepentingan sekelompok orang, partai,
atau bahkan asing. Kalian wakil rakyat, bukan wakil partai, apalagi
wakil asing.
Anggaplah perlakuan kami
berteriak-teriak dan mengecam kalian dari balkon ini tindakan yang
anarkis, tidak cerdas, memalukan atau apapun. Kami hanya ingin rakyat
tahu, bahwa ada yang salah dengan para wakilnya. Bahwa mereka dibodohi
oleh wakilnya, bahkan dikhianati.
Ampunilah kami yang hina ini ya Allah…
Berikan jalan keluar bagi permasalahan bangsa ini…. Jauhkan kami dari
nerakamu, neraka dunia dan neraka sejatinya neraka… Semoga ke depan
tidak ada lagi: Paripurna Pura-pura.
0 komentar:
Posting Komentar