Rabu, 04 April 2012

PARIPURNA PURA-PURA

PARIPURNA PURA-PURA

 
“DPR kok seperti anak TK” –Gus Dur
Perkenankan saya untuk tidak sepenuhnya sepakat dengan argumen ini. Anak TK, mereka bertengkar, saling mengejek, bercanda, dan kadang bertingkah semaunya, oleh sebab mereka belum tahu. Mereka hanya belum mengerti. Namun kalau ada orang sudah tua, sudah tahu mana baik buruk, sudah mengerti mana yang pantas dilakukan mana yang tidak, sudah dipercaya rakyat, masih bertingkah seperti itu, hipotesa saya ada dua: mereka tidak pernah sekolah, atau memang dicipta tanpa otak. Lalu, di negeri nan kaya raya namun tiada sejahtera ini, siapa lagi yang bisa kita percaya?
Jum’at, 30 Maret 2012 saya bersama 19 mahasiswa UI lainnya berkesempatan untuk ikut mengawal sidang paripurna DPR di Senayan. Kabarnya, sidang hari itu akan membahas empat agenda dan dimulai pukul 10.00, namun kami baru hadir setelah shalat jum’at. Pengamanan yang ketat dilakukan oleh sejumlah pihak kemanan yang biasa disebut PAMDAL. Beberapa hari sebelumnya, kami memang sudah mengirimkan surat kepada pimpinan dan berkoordinasi dengan pihak Humas sehingga kami bisa dipersilakan untuk masuk ke dalam ruang sidang tanpa banyak hambatan (jadi kami tidak memaksa masuk, apalagi melanggar prosedur).
Saya akan coba share sedikit, mungkin tidak akan banyak cerita tentang substansi sidang, namun lebih kepada kondisi—yang seperti anak TK, kata Gus Dur.
Saya agak lupa tepatnya pukul berapa, sekitar jam satu lebih,  dengan berbalut jeket kuning, kami sudah menduduki ‘Fraksi Balkon’—sebutan bagi orang-orang yang ikut memantau sidang di balkon. Saya menengok ke bawah, belum ada tanda-tanda kehidupan (padahal katanya keputusan sebelum pending, sidang akan dimulai jam 13.30). Sidang paripurna baru dimulai sekitar jam 14.30, setelah sebelumnya Marzuki Ali, pimpinan sidang yang juga terlambat hadir memanggil peserta sidang berkali-kali. Saya juga baru tahu ternyata ruang sidang punya bel “kring.. kring..” yang berbunyi berkali-kali mengingatkan bahwa sidang harus segera dimulai—memang seperti anak TK. Marzuki Ali bahkan sempat berkata: “sudah.. Berdo’anya setengah jam saja, rapat harus segera dimulai..”. Sebelum sidang dimulai pun, wakil-wakil rakyat yang gagah dengan pakaian mewahnya itu perlu diperingatkan berkali-kali untuk langsung duduk—menghentikan aktifitas mereka: berdiri, berkumpul, lalu mengobrol. Sirna sudah rasa hormat saya­—yang sebelumnya memang tidak ada— pada para pengambil kebijakan ini.
Sidang pun berlangsung, setelah bicara cukup panjang, pimpinan mempersilakan tiap fraksi untuk menyampaikan pandangannya terkait hasil Rapat Pemerintah bersama Badan Anggaran untuk mengubah/menambahkan Pasal 7 ayat 6 UU no 22 tentang APBN. Ada yang setuju, beberapa tidak setuju, beberapa setuju dengan syarat masing-masing. Tapi kesimpulan saya satu: semuanya penjilat.
Sekitar pukul 16.00 sidang sudah tidak kondusif. Tidak jelas sidang mau dibawa ke mana. Pimpinan sidang menyimpulkan sendiri (!) bahwa tidak ditemukan kesepakatan sehingga harus dilakukan mekanisme lobying. Konyolnya, sidang tiba-tiba diketuk untuk skorsing tanpa kejelasan materi, lama lobying, dan kapan sidang akan dimulai lagi. Marzuki Ali tiba-tiba berdiri lalu ke luar dari ruang sidang, sementara masih banyak peserta sidang yang interupsi untuk menanyakan kejelasan. Alhasil, nasib sidang menjadi tidak jelas. Padahal agenda yang dibahas menyangkut hajat hidup jutaan rakyat yang mereka wakili, saya benar-benar merasa rakyat dipermainkan.
Setelah lama menunggu, saya dapat kabar bahwa sidang akan dimulai lagi pukul 19.30. Kami pun standby di balkon. Para anggota dewan belum juga menunjukkan batang hidungnya, termasuk pimpinan sidang. Seiring berjalannya waktu, satu persatu anggota dewan memasuki ruang sidang. Sambil menunggu saya sempat iseng-iseng melihat ke bawah, keisengan saya membuat makin ilfeel karena saya dapati seorang anggota dewan sedang merokok dengan khidmat. Saya tidak perlu bilang siapa orang yang saya maksud, hanya saja beliau ini mengenakan kemeja biru, dan dulu terkenal dengan peran ‘Si Poltak’. Tidak adakah aturan yang melarang orang untuk merokok di dalam ruang sidang? Rasa-rasanya tidak mungkin, apalagi untuk orang-orang terhormat seperti Anggota DPR.
Sekitar pukul 21.00, sudah mulai banyak anggota dewan yang masuk. Namun, pimpinan sidang belum juga kelihatan. Para anggota dewan yang sudah di dalam ini malah menggunakan pengeras suara untuk memutar lagu iwan fals, bahkan sampai lagu pop Bunga dari Ikhsan (Indonesian Idol). Parah. Sambil mereka sambil bercanda dan mengejek satu sama lain. Beberapa anggota dewan yang kesal—atau pura-pura kesal—bahkan maju ke podium, menanyakan keberadaan pimpinan. Seketika ruang sidang dipenuhi sahutan-sahutan, jangan salahkan saya kalau saya sulit membedakan ruangan sidang terhormat ini dengan hutan, atau kebun binatang. Saya makin ilfeel.
Nyata-nyatanya sidang baru dimulai pukul 22.30. Sidang dimulai dengan pemaparan opsi-opsi hasil lobying, dilanjutkan dengan pandangan anggota dewan terkait hasil tersebut. Sempat-sempatnya pimpinan memelesetkan nama salah satu partai alih-alih mencoba memecah kejenuhan. Dalam suasana seperti itu? Hei.. Rakyat menunggu… Sidang mulai tidak kondusif karena hujan interupsi ditambah pimpinan yang sepertinya bingung—atau pura-pura bingung. Pimpinan memutuskan untuk dilakukan voting, padahal belum jelas apa yang akan divoting. Pukul 00.00, pimpinan menanyakan apakah sidang akan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu atau akan dipending. Untuk memutuskan hal itupun mesti dilakukan mekanisme voting, padahal ketika memutuskan untuk skorsing Pak Marzuki ketok palu dan cabut semaunya. Barangkali akan ada suatu masa di mana para nggota dewan ini akan melakukan voting untuk memutuskan akan dilakukan voting atau tidak. Voting untuk voting. Ilfeel tingkat dewa.
Sidang diperpanjang sampai pukul 01.00, dan diputuskan (entah telah disepakati atau tidak, sepertinya hal itu ‘tak penting lagi. Masing-masing membawa kepentingan partai—yang juga mungkin ditunggangi kepentingan asing) akan dilakukan voting terhadap 2 opsi. Opsi satu tidak ada perubahan atau penambahan pada pasal 7 ayat 6, opsi dua ada penambahan pasal 7 ayat 6A. Pasal 7 ayat 6 berbunyi: “Harga eceren BBM Bersubsidi tidak mengalami kenaikan.” Pasal 7 ayat 6A berbunyi: ”Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya.” Ini jelas-jelas KONTRADIKTIF! Konyolnya, meski nyata-nyata ayat 6 dengan ayat 6A kontradiktif, opsi 2 tetap dijadikan opsi untuk divoting.
Opsi satu tidak memberikan kesempatan sedikitpun untuk kenaikan BBM, opsi dua memungkinkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Saya sebenarnya tidak mengerti seperti apa seharusnya mekanisme voting dilangsungkan. Namun saya agak risih melihat mekanisme yang dilakukan oleh sidang. Yang setuju dengan opsi yang disebutkan diminta berdiri, lalu sekjen diminta untuk menghitung, sementara masih banyak peserta sidang yang berdiri di depan karena protes. Tiba-tiba pimpinan berkata: ‘Yak, 144 suara!’. Validkah? Atau pura-pura valid?
Beberepa setuju dengan opsi dua, beberapa memilih walkout karena opsi yang awalnya ditawarkan tidak diterima dan ketua fraksinya tidak dihargai, beberapa setuju opsi satu dan tetap ditempat karena (katanya) mereka akan tetap menyuarakan suara rakyat meski dengan jumlah sedikit. Ini seperti sinetron.. Mereka yang awalnya (juga di media) menolak kenaikan ternyata memilih opsi dua. Penjilat. Perkenankan saya untuk muak dengan semua kondisi ini.
Sidang yang dilakukan berjam-jam, penuh dengan sahutan dan kelakuan-kelakuan yang menjijikkan dan penuh kepura-puraan itu akhirnya berujung pada keputusan inkonstitusional bahwa akan ditambahkan pasal 7 ayat 6A dalam UU APBN. Jangan salahkan kami kalau kami berang dengan berteriak “pengkhianat konstitusi!” atas keputusan yang diambil ditambah sidang yang berjalan seperti sinetron, penuh kepura-puraan dan jilatan-jilatan. Kami hanya ingin kalian sadar—meski ini utopis­—Wahai Para Wakil Rakyat yang Terhormat, bahwa kehadiran kalian di sidang paripurna itu untuk mewakili kepentingan rakyat banyak. Bukan kepentingan sekelompok orang, partai, atau bahkan asing. Kalian wakil rakyat, bukan wakil partai, apalagi wakil asing.
Anggaplah perlakuan kami berteriak-teriak dan mengecam kalian dari balkon ini tindakan yang anarkis, tidak cerdas, memalukan atau apapun. Kami hanya ingin rakyat tahu, bahwa ada yang salah dengan para wakilnya. Bahwa mereka dibodohi oleh wakilnya, bahkan dikhianati.
Ampunilah kami yang hina ini ya Allah… Berikan jalan keluar bagi permasalahan bangsa ini…. Jauhkan kami dari nerakamu, neraka dunia dan neraka sejatinya neraka… Semoga ke depan tidak ada lagi: Paripurna Pura-pura.

0 komentar:

Posting Komentar