Masihkah ada pelangi di langit jiwa
Segala penjuru mulutku masih
bermentega. Cileuh-cileuh1 masih betah bertengger di ujung kelopak mata,
membuat mata enggan membuka bulat. Aku dipaksa bangun lagi oleh
secercah cahaya matahari, oleh putaran jarum yang yang bersandang di
dinding kamar. Aku, yang ‘tak mudah tega pada tubuhku sendiri, untuk
saat ini harus menyeret ketaktegaan ini jauh-jauh, mungkin lebih jauh
dari kampung halaman tempat aku lahir dan dibesarkan. Sadar betul aku,
dalam tiap inchi harapan yang aku susun dalam ruang asa, terkandung
semua energi kehidupan. Tapi ntah mengapa, kali ini energi itu mati,
atau hilang, hukum kekekalan energi tidak berlaku kali ini.
Sekelumit
hati berkabung, menangisi kehampaan pikiran yang akhir-akhir ini buyar,
membuncah tanpa arah. Pelangi ‘tak lagi muncul di langit jiwa. Di bawah
hegemoni kedigdayaan hati yang terasing, seolah aku ‘tak berdaya.
0 komentar:
Posting Komentar