Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW
Nadirsyah Hosen
Setelah
Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat
Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah
meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui
menemui Umar dan dia meminta, Òceritakan padaku akhlak MuhammadÓ. Umar
menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia
menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan
permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan
apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi
Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat
senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia
Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan
berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air
mata berkata, Òceritakan padaku keindahan dunia ini!.Ó Badui ini
menjawab, Òbagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan
dunia ini...Ó Ali menjawab, Òengkau tak sanggup menceritakan keindahan
dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan
hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak
Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad
memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)Ó
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa
ÒKhumairahÓ oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-QurÕan (Akhlaknya
Muhammad itu Al-QurÕan). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi
itu bagaikan Al-QurÕan berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa
ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh
kandungan QurÕan. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca
dan menyimak QS Al-MuÕminun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari
pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh
akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang
akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan
satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka
dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi,
Aisyah hanya menjawab, Òah semua perilakunya indah.Ó ketika didesak
lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang
isteri. ÒKetika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk
dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ÔYa
Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.Õ Apalagi
yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput
episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa
hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika
menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah
keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya
tidur di depan pintu. Aisyah berkata, Òmengapa engkau tidur di sini.Ó
Nabi Muhammmad menjawab, Òaku pulang sudah larut malam, aku khawatir
mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya
aku tidur di depan pintu.Ó Mari berkaca di diri kita masing-masing.
Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan,
Òberhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan
ditanya di hari akhir tentangnya.Ó Para sahabat pada masa Nabi
memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu
turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat
tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia
minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang
mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya.
Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun
melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan
alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata,
menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan
tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung
tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas
duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat
saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin
ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita.
Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun,
sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah
yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi
Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, Òsyetan
saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan
lewat jalan yang lain.Ó Dalam riwayat lain disebutkan, ÒNabi bermimpi
meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang
meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud
(taÕwil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.Ó
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman
menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik
dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu,
tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. ÒAku ini
kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.Ó Òbarang siapa membenci Ali, maka ia
merupakan orang munafik.Ó
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata
kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun
sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-QurÕan Allah
memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll.
tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan ÒWahai
NabiÓ. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada
Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar
berkata: ÒAngkat Al-QaÕqa bin MaÕbad sebagai pemimpin.Ó Kata Umar,
ÒTidak, angkatlah Al-AqraÕ bin Habis.Ó Abu Bakar berkata ke Umar, ÒKamu
hanya ingin membantah aku saja,Ó Umar menjawab, ÒAku tidak bermaksud
membantahmu.Ó Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin
keras. Waktu itu turunlah ayat: ÒHai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara
Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia
seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus
amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, ÒYa Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti
seorang saudara yang membisikkan rahasia.Ó Umar juga berbicara kepada
Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa
itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah
terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena
melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan
pembesar Quraisy, Utbah bin RabiÕah. Ia berkata pada Nabi, ÒWahai
kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau
kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami,
Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu
penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan
kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kamiÓ
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun
beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti,
Nabi bertanya, ÒSudah selesaikah, Ya Abal Walid?Ó ÒSudah.Ó kata Utbah.
Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai
pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan
Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana
Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik.
Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah
akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita
sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau
mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau
mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara
pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun
yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu
kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat
ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah
menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan
haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab
Nabi? ÒKembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat
perjanjian. Semoga Allah melindungimu.Ó Sahabat ini menangis keras. Bagi
Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan
bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi
janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang
kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu
bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita
atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para
sahabat, ÒMungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di
padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas
karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!Ó Sahabat yang lain terdiam, namun
ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, ÒDahulu ketika
engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan
posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau
tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.Ó Para sahabat lain
terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya
Umar langsung berdiri dan siap ÒmembereskanÓ orang itu. Nabi
melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi.
Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta
tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun
semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu
setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan
bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, Òlakukanlah!Ó
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu
keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi
seraya menangis, ÒSungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan
merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua
perilakumu wahai Rasulullah.Ó Seketika itu juga terdengar ucapan,
ÒAllahu AkbarÓ berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan
Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya
semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia
ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat
hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita
bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar
di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia.
Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. NaÕudzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji WadaÕ, di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya
itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, ÒNanti
di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku,
sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa
jawaban kalian?Ó Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan
air mata. Nabi melanjutkan, ÒBukankah telah kujalani hari-hari bersama
kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku
karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar
menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian
wahyu dari Allah.....?Ó Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat
menjawab, Òbenar ya Rasul!Ó
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, ÒYa Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!Ó. Nabi
meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di
pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai
Rasulullah.ÒYa Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa
kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin
meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung,
betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama
Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga
yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah...Ya Allah
saksikanlah Ya Allah saksikanlah